TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menyebutkan ada tiga strategi yang akan dilakukan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi 2023.
"Pertama, strateginya adalah memperdayakan ekonomi domestik yang sangat besar," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 16 Oktober 2022.
Strategi yang berfokus ekonomi domestik untuk memanfaatkan potensi penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 275 juta jiwa. Sehingga, program penguatan produk lokal atau program Bangga Buatan Indonesia (BBI) terus didorong. Di sisi lain, pemerintah juga akan melanjutkan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor.
Baca: Ancaman Resesi 2023, Ekonom: Bisnis yang Mengandalkan Pasar Domestik Masih Aman
Strategi yang kedua berkaitan dengan pengendalian inflasi, khususnya inflasi pangan. Iskandar mengungkapkan inflasi pangan menjadi sumber inflasi utama di Indonesia. Sehingga, akan terus digalakan gerakan tanam pekarangan, food estate, serta peningkatan produktivitas dan percepatan musim tanam.
Ditambah upaya untuk memperlancar distribusi barang dengan bekerjasama antar daerah dan subsidi ongkos angkut. Terakhir, strategi yang meliputi perbaikan iklim investasi dengan penerapan onile single submission secara penuh di seluruh Indonesia.
Adapun dalam World Economy Outlook International Monetary Fund (WEO IMF), IMF pada Oktober 2022 mengoreksi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,2 persen menjadi 2,7 persen. Sedangkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dikoreksi sebanyak 0, persen menjadi 5,0 persen.
Ia mengklaim pemulihan ekonomi Indonesia kini terus berjalan. Jadi, kata Iskandar, seharusnya tidak diperlukan lagi insentif untuk masyarakat secara terus menerus karena kapasitas fiskal pun kini terbatas.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira justru menilai pemerintah Indonesia harus segera mengeluarkan paket kebijakan sebagai antisipasi resesi ekonomi dunia pada 2023.
"Tidak cukup hanya lakukan stress test (uji tekanan)," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 14 Oktober 2022.
Bhima mengatakan uji tekanan sudah rutin dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), tetapi yang saat ini mendesak untuk diterapkan adalah paket kebijakan. Isi paket kebijakan yang ia sarankan meliputi relaksasi pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 8 persen.
Menurutnya pemerintah perlu memberikan tambahan alokasi dana perlindungan sosial beserta bantuan subsidi bunga yang lebih besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudian penambahan subsidi uang muka untuk properti, hingga subsidi upah bagi pekerja sektor informal.
Bhima menilai antisipasi resesi oleh pemerintah Indonesia masih bersifat fragmentasi alias tidak dalam satu koordinasi. Misalnya yang terjadi pada dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Padahal, kata dia, masalahnya kini bukan soal inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
"Waktu tidak banyak sehingga secepatnya bentuk tim koordinasi paket kebijakan resesi," tutur Bhima.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Indonesia Dibayangi Resesi, Indef: Kebijakan Subsidi BBM Masih Diperlukan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini