TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah untuk meminimalisir dampak ancaman resesi global 2023. “Salah satunya saya concern soal devisa hasil ekspor,” ujar dia melalui sambungan telepon Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Bhima menjelaskan selama satu semester 2022 harga komoditas menyumbang kinerja surplus perdagangan. Namun, kata dia, devisa hasil ekspor yang dikonversi ke rupiah dan ditahan di bank dalam negeri ini masih sangat terbatas. “Harus ada ada langkah-langkah extra ordinary untuk memulangkan devisa hasil ekspor agar tidak mangkrak di bank luar negeri,” tutur dia.
Bhima juga meminta pemerintah mampu memperkuat nilai tukar rupiah. Selain itu, transisi dari sisi pangan, perlu dilakukan untuk memperkuat produksi pangan domestik sekaligus dapat melepas ketergantungan impor. Misalnya gandum diganti sorgum.
Soal jaring pengaman sosial, menurut Bhima, anggaran perlindungan sosial tahun depan hanya 2,5 persen dari PDB. “Secara nominal Rp 400 triliun lebih ya tapi kalau kita bandingkan dengan PDB itu terlalu kecil di kawasan Asia Tenggara pun juga Indonesia terbilang kecil, terbilang rendah,” ucap dia.
Alih-alih untuk mega proyek infrastruktur, dia meminta pemerintah fokus mempertebal jaring pengaman sosial. Seperti bantuan sosial untuk UMKM, subsidi pupuk, dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga perlu dijaga.
“Bauran yang spesifik seperti properti itu juga perlu dibantu, itu catatan lainnya,” kata Bhima.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyoroti kebijakan subsidi bahan bakar minyak atau BBM dalam menghadapi ancaman resesi global 2023.
Tauhid melihat negara masih harus menggelontorkan anggaran subsidi BBM dengan jumlah besar sebagai bantalan ekonomi. Kebijakan fiskal itu untuk menahan dampak dari melambungnya harga-harga komoditas.
“Yang banyak orang melihat itu selalu ke harga BBM, itu tebusannya adalah subsidi yang dikendalikan. Subdisi masih akan besar,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Selasa, 27 September 2022.
Pemerintah, Tauhid melanjutkan, perlu mewaspadai fluktuasi harga minyak dunia pada tahun depan dan gejolak nilai tukar. Sebab, kata dia, pembentuk harga BBM selain harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) adalah posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Tauhid memberi catatan besaran subsidi BBM yang dianggarkan pemerintah pada 2023 dan kerentanannya terhadap defisit APBN. Pada tahun depan, pemerintah harus menekan besaran subsidi lantaran mesti mengembalikan defisit APBN ke level 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah sudah harus menerima carry over sekitar Rp 190 triliun untuk subsidi tahun ini. Jika tahun depan terjadi gejolak baru, anggaran subsidi BBM pun akan di-carry over pada 2024.
"Jadi hitungan saya maksimal sekitar Rp 200 triliun tambahannya (subsidi BBM) kalau ada gejolak untuk subsidi. Karena kalau dia mau nambah ke tahun 2023 ya jebol di atas 3 persen, itu perlu diskusi lagi dan UU diubah,” tutur Tauhid.
Seiring dengan langkah fiskal, Tauhid mengatakan negara juga perlu memperkuat kebijakan moneternya. Bank Indonesia, misalnya, masih perlu menaikkan suku bunga jika rupiah terus melemah.
“Kalau (nilai tukar rupiah terhadap) dolar tembus Rp 15 ribu, berarti apa yang dilakukan Bank Indonesia selama ini enggak begitu cukup kuat,” tutur dia. Menurut Tauhid, meski depresiasi rupiah lebih rendah ketimbang negara lain, pengaruh pelemahan nilai tukar terhadap perekonomian akan dirasakan masyarakat.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini