TEMPO.CO, Pangkalpinang - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kepulauan Bangka Belitung meminta pemerintah melakukan kajian sebelum menyetop ekspor bijih timah. Ketua KADIN Bangka Belitung Thomas Jusman mengatakan kajian secara bisnis dan ekonomi perlu dilakukan karena banyak kelompok masyarakat yang sangat bergantung terhadap sektor pertambangan tersebut.
"Ketergantungan ekonomi dari pertambangan timah saat ini masih dominan. Larangan ekspor timah tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa, harus dikaji secara mendalam dan dilakukan secara bertahap dengan road map yang jelas," ujar Thomas, Rabu, 21 September 2022.
Thomas menuturkan timah Bangka Belitung yang diekspor ke luar negeri tidak lagi berupa pasir, melainkan sudah berbentuk barang setengah jadi. Produk tersebut telah melalui proses pemurnian di smelter.
"Meski begitu Kadin tetap mendorong dilakukan hilirisasi yang memberikan nilai tambah lebih besar dengan membangun industri yang menggunakan bahan baku timah. Selain itu kita juga mendorong pemanfaatan logam tanah jarang ( LTJ) yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi," ujar dia.
Thomas menyadari jika proses transformasi ekonomi dan sosial harus dilakukan sebagai upaya memperkuat fundamental dan struktur ekonomi yang lebih kokoh dan berkelanjutan. Namun, hal tersebut, perlu diikuti dengan meningkatkan potensi sektor lain--menurut dia.
"Jadi sambil melakukan good mining practices dan hilirisasi sektor timah, pemerintah juga perlu mendorong potensi sektor sektor lainnya seperti perkebunan, pariwisata, perikanan, agribisnis dan Aquaculture. Dengan begitu, pelaku usaha dan ekonomi masyarakat tetap bisa berjalan," ujar dia.
Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan pemerintah terus menjalankan larangan ekspor barang tambang mentah. "Setelah nikel, nanti tahun ini bauksit, sekarang sedang dimatangkan. Kita siapkan smelter," ujar Jokowi, 10 Januari lalu.
Setelah bauksit, Jokowi menuturkan pemerintah akan mencoba larangan timah dan tembaga. "Kita harus berani!" katanya. Pemerintah sebelumnya melarang ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020. Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang diteken oleh menteri saat itu, Ignasius Jonan, pada 28 Agustus 2019.
"Sekarang ini sudah 19 bulan neraca perdagangan surplus, itu dari mana? Dari stop ekspor nikel. Muncul angka US$20,8 miliar. Dulu ekspor tanah yang ada nikel ore paling hanya US$2 miliar setahun, artinya ada lompatan yang tinggi sekali," kata Jokowi.
SERVIO MARANDA (BANGKA BELITUNG) | BISNIS
Baca juga: Paket Kompor Listrik Rp 1,8 Juta Akan Dibagikan Gratis ke 300.000 Orang, Begini Penjelasan ESDM
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini