TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai pelemahan rupiah saat ini karena antisipasi pasar atas kebijakan yang akan diambil oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).
"Tekanan rupiah masih karena antisipasi pasar terhadap kemungkinan bank sentral AS yang akan terus mendorong kebijakan pengetatan moneter yang agresif untuk menekan inflasi AS ke level target 2 persen," ujar Ariston ketika dihubungi di Jakarta, Selasa, 20 September 2022.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi ini melemah tipis satu poin atau 0,01 persen ke posisi Rp 14.979 per dolar AS. Rupiah melemah bila dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 14.978 per dolar AS.
Sama nasibnya dengan rupiah, mata uang yen Jepang melemah 0,05 persen, dolar Singapura melemah 0,01 persen, rupee India melemah 0,03 persen, yuan Cina melemah 0,10 persen, dan ringgit Malaysia melemah 0,04 persen.
The Fed diproyeksikan akan menaikkan suku bunga 75 basis poin dengan beberapa peluang kenaikan 100 basis poin. Adapun prospek kenaikan suku bunga oleh The Fed kian menguat seiring rilis data inflasi AS yang melampaui perkiraan sebelumnya.
Rilis inflasi AS pekan lalu memperkuat persepsi pasar bahwa bank sentral akan mengerek bunga yang lebih tinggi dan menahannya hingga inflasi bisa diredam. Namun di sisi lain, kata Ariston, sentimen pasar terlihat cukup positif pagi ini dengan penguatan pergerakan indeks saham Asia.
"Sebagian pasar kelihatannya mengambil peluang masuk di level rendah. Sentimen positif ini mungkin bisa menahan pelemahan rupiah," tuturnya.
Selanjutnya: BI diperkirakan bakal naikkan suku bunga.