TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan ancaman stagflasi masih akan terus mengemuka pada masa mendatang di tingkat global. Kondisi stagflasi ditandai dengan tingginya tekanan inflasi yang beriringan dengan turunnya perekonomian hingga dalam kondisi terkontraksi.
Kepala Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI, Solikin M Juhro, mengatakan, kondisi ini tergambar jelas dari respons kebijakan moneter bank negara-negara maju yang lebih hawkish atau masih akan menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk meredam inflasi ke depan.
"Sehingga dengan konteks itu maka tekanan untuk suku bunga naik akan lebih tinggi di global dan itu akan memengaruhi aliran modal ke negara-negara emerging market," kata Solikin dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Rabu, 7 September 2022.
Dalam simposium bank sentral di Jackson Hole, Wyoming, Amerika Serikat, pada akhir Agustus 2022, Bos The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell juga telah dengan tegas menyatakan akan menuntaskan permasalahan inflasi sehingga tren suku bunga acuan akan terus naik.
"Harga komoditas yang sangat tinggi tentunya ini jadi momok juga, sehingga kita melihat stagflasi. Inflasi yang tinggi dan respons suku bunga tinggi itu akan menekan pertumbuhan. Ancaman stagflasi ini akan terus mengemuka," ujar Solikin.
Merespons kondisi inflasi yang masih tinggi ini, kata Solikin, BI jelas masih akan terus mendukung stabilitas sambil mendorong momentum pemulihan ekonomi yang masih berlangsung sepanjang 2022 ini. Khususnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah baik dari sisi inflasi maupun tekanan eksternal.
"Sehingga dalam konteks itu kebijakan moneter diarahkan pertama untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, apakah melalui intervensi atau yang baru melalui operational twist, melalui jual beli SBN di pasar sekunder, dan juga kita melakukan normalisasi likuidtas duluan," ucapnya.
Selanjutnya: Ada risiko stagflasi di sejumlah negara dan resesi di negara maju akibat kebijakan moneter agresif.