Namun, ketika kebijakan pembayaran jaminan jam terbang 60 jam diterapkan pada saat penerbangan tidak normal/pandemi Covid-19 di mana jumlah penerbangan/produksi menurun hampir 90 persen. Dan hingga saat ini hanya dibawah 40 pesawat yang beroperasi.
"Sementara jumlah penerbang tidak berubah maka pembayaran jaminan jam terbang 60 jam menjadi keputusan yang sangat membebani keberlangsungan perusahaan di saat Pandemi Covid-19," kata Dwi.
Menurut Sekarga, hal ini sebenarnya sudah mendapat perhatian serta teguran langsung kepada Direktur Utama Garuda Indonesia dari Komisi VI DPR Deddy Sitorus pada bulan Juni 2021 tetapi teguran tersebut diabaikan.
"Menyikapi kondisi di atas, kami dari Serikat Pekerja sejak awal Pandemi Covid-19 tahun 2020 juga telah mengingatkan Direktur Utama Garuda Indonesia agar seharusnya pembayaran jaminan jam terbang 60 jam dapat ditinjau kembali," kata Dwi.
Dalam kondisi penyelamatan flag carrier Garuda Indonesia, kata Dwi, seharusnya penerbang cukup dibayar gaji pokok ditambah dengan pembayaran aktual jam terbang yang dilaksanakan. Artinya bukan memberikan pembayaran minimum 60 jam terbang, mengingat keterbatasan kemampuan keuangan Garuda Indonesia akibat menurunnya produksi.
"Namun, faktanya sampai dengan bulan Juni 2022 Direktur Utama Garuda Indonesia masih tetap melaksanakan pembayaran 60 jam terbang," ujarnya.
Namu, per 1 Agustus 2022 Direktur Utama Garuda Indonesia mengambil keputusan diluar rapat direksi dengan mengubah pola pembayaran jaminan jam terbang 60 jam dengan cara mengkonversi 20 jam terbang GHA masuk kedalam komponen gaji pokok penerbang.
"Sehingga terjadi kenaikkan rata-rata 31 persen terhadap gaji pokok penerbang, semestinya komponen jam terbang merupakan biaya variabei bukan biaya fixed," ucap Dwi.
Keputusan kenaikan gaji penerbang ini akan berdampak pada kenaikan biaya tetap penerbang sebesar 31 persen. "Atas keputusan tersebut sangat terlihat jelas bahwa ada asas good corporate governance (GCG) di Garuda Indonesia yang tidak dijalankan dan hal ini berpotensi menjadi temuan dalam audit," kata Dwi.
Baca: Luhut Klaim Utang Indonesia Rp 7.000 Triliun Terkecil di Dunia, Bagaimana Datanya?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.