Tekanan inflasi yang merata terjadi di berbagai negara, khususnya mitra dagang utama Indonesia, berisiko menggerus kinerja ekspor Indonesia ke depan. Ekspor tetap terancam walau pada kuartal II mampu tumbuh di level 19,74 persen secara tahunan dari kuartal sebelumnya 16,69 persen.
"Ketika daya beli negara mitra dagang utama tertekan, maka konsekuensinya permintaan barang dan jasa bisa saja berkurang. Persoalan berpotensi lebih rumit karena implikasinya dapat menjalar ke pundi-pundi cadangan devisa yang berisiko ikut menyusut," ujar Eko.
Karena itu, Eko berpendapat, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan terobosan. Salah satunya meningkatkan belanja pemerintah dan mengendalikan inflasi harga bergejoplak serta inflasi yang diatur pemerintah.
"Belanja pemerintah perlu diakselerasi untuk membantu menjaga pertumbuhan ekonomi. Belanja yang perlu didorong pada kuartal III adalah belanja barang dan modal sehingga sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi positif," ucap Eko.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengatakan laju konsolidasi fiskal yang dilakukan Kemenkeu dengan menekan belanja negara tetap sesuai jalur. Konsolidasi tersebut, kata dia, tidak mendisrupsi laju pemulihan ekonomi pada kuartal II 2022.
"Belanja pemerintah terkait dengan penanganan pandemi dapat ditekan seiring dengan terkendalinya tingkat penyebaran virus di sepanjang kuartal II 2022," kata Rahayu melalui siaran pers hari ini.
Selain itu, dia menganggap, pergeseran waktu pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan Gaji ke-13 kepada ASN juga berdampak pada laju pertumbuhan konsumsi pemerintah. Pada 2021, THR dan Gaji ke-13 dibayarkan pada April dan Juni. Sedangkan pada 2022, THR dan gaji ke-13 PNS dicairkan pada April dan Juli.