"Kabar baiknya di baseline skenario, kami tidak (ada) ekspektasi resesi global terjadi pada 2022 atau 2023 di seluruh dunia. Namun, resesi mungkin terjadi di negara-negara seperti Rusia dan Ukraina," katanya.
Saat ini, menurut Georgieva, kondisi ekonomi global memang menghadapi tekanan yang sangat besar akibat tingginya harga komoditas, inflasi yang terus menanjak, serta risiko pembengkakan utang. Imbasnya, IMF akan kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dua pekan mendatang.
Lalu, bagaimana dampaknya ke perekonomian Indonesia?
Georgieva menyebutkan saat ini risiko terhadap perekonomian Indonesia berasal dari tekanan luar negeri, bukan dari dalam negeri. Sebab, fundamental dan kinerja ekonomi Indonesia sejauh ini yang berjalan baik.
Namun begitu, Indonesia dapat turut terpengaruh oleh berbagai tekanan dan gejolak yang ada, terutama tingginya inflasi yang memacu banyak bank sentral menaikkan suku bunga. Saat ini tingkat inflasi Indonesia terbilang masih rendah dari kondisi negara-negara lainnya karena masih cukup dekat dengan harapan pemerintah, yakni di kisaran 4 persen.
"Kondisi itu bisa terjadi di antaranya karena bauran kebijakan fiskal dan moneter, oleh pemerintah dan Bank Indonesia," tutur Georgieva.
Indonesia, menurut dia, juga masih menuai berkah dari tingginya harga komoditas karena merupakan eksportir batu bara dan crude palm oil (CPO). Namun demikian, Indonesia tetap menanggung besarnya beban subsidi akibat harga minyak global yang membengkak.
"Fundamental ekonomi Indonesia ada dalam kondisi baik, sehingga mampu menjaga perekonomian tumbuh di rentang 5 persen. Kami berharap negara ini bisa menyelesaikan tahun ini dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Kami juga berharap pertumbuhan yang positif tahun depan," ujar bos IMF tersebut.
BISNIS
Baca: Rekam Jejak Proyek Istaka Karya, BUMN yang Resmi Berstatus Pailit
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.