Nah, bila kegiatan ekspor dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab, kebutuhan minyak goreng yang bermasalah hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun, dibandingkan dengan total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO dan 4,5 juta ton per tahun untuk palm kernell oil (PKO).
Keadaan makin rumit, kata Deddy, karena buah sawit tidak bisa disimpan lama. "Begitu dipanen, harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya, rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan. Pemilik pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama," tuturnya.
Lebih jauh, Deddy menilai, bila kebijakan moratorium ekspor itu dilakukan dalam jangka waktu lama, bakal menyebabkan barang menjadi langka dan menimbulkan kerugian karena harga minyak sawit dunia menjadi melonjak.
"Moratorium ini bisa menjadikan konsekuensi terjadinya keberatan dari negara-negara lain karena barang ini adalah komoditas global. Jadi mohon diperhatikan Bapak Presiden, mohon kembalikan kebijakannya ke jalur yang benar," ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara. Ia menilai kebijakan larangan ekspor tersebut hanya mengulang kesalahan yang sama seperti pada kasus batu bara pada Januari 2022 lalu.
DMO sawit dinilai lebih efektif
Bhima lebih mendukung kebijakan wajib pasok pasar domestik (DMO) untuk mencegah lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Dalam hitungannya, DMO 20 persen sebetulnya sudah cukup untuk menjaga kebutuhan dalam negeri.