“Yang seharusnya dilakukan cukup kembalikan kebijakan DMO crude palm oil (CPO) 20 persen. Selain DMO, pemerintah juga harus menggunakan HET di minyak goreng kemasan,dan pengawasan yang benar, jangan pake suap,” ujar Bhima.
Ia menilai kalaupun ada kesalahan dalam implementasi kebijakan DMO hanya di bagian pengawasan. "Yang bolong ini kan pengawasannya, jangan memukul rata semua bahan baku minyak goreng dilarang. Hal ini akan membuat rugi besar terhadap perekonomian Indonesia."
Bila pemerintah berkukuh melarang ekspor, Indonesia berpotensi kehilangan devisa sekitar US$ 3 miliar. Mengingat bahan baku minyak goreng yang tidak hanya CPO, kebijakan itu juga dinilai tidak bijak karena bakal berimbas pada industri selain minyak goreng yang juga membutuhkan CPO.
Yang pasti, menurut Bhima, larangan ekspor akan otomatis mendorong kenaikan harga CPO internasional secara signifikan. Per 21 April 2022, harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) mencapai MYR 6.808 per ton. Ia memperkirakan harga itu bakal makin meroket dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah karena Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar saat ini.
Bhima juga khawatir negara lain akan melakukan balas dendam atau retaliasi terhadap kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku tersebut. “Khawatir ada retaliasi dan protes dari negara negara lain juga,” ujar Bhima.
ANTARA | BISNIS
Baca: Kasus Minyak Goreng, Sultan Hamengkubuwono X: Kepentingan Sendirinya Luar Biasa
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.