TEMPO.CO, Jakarta - Produsen makanan berbahan dasar gandum mulai ancang-ancang mencari bahan baku alternatif dari Australia menyusul operasi militer Rusia ke Ukraina. Sebab, bila konflik kedua negara tersebut berlangsung lama, pasokan gandum secara global akan terganggu.
“Yang perlu diwaspadai, semua negara mengincar hal yang sama. Saya kira tidak ada satu orang pun bisa meramalkan (perang) ini lama atau tidak. Semua serba tidak pasti,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman saat dihubungi pada Selasa, 1 Maret 2022.
Ukraina merupakan salah satu negara penghasil gandum terbesar yang memasarkan komoditasnya ke seluruh dunia. Pada 2021, sebanyak 26 persen kebutuhan gandum Indonesia diimpor dari Ukraina. Total kebutuhan gandum tahun lalu sebanyak 11,5 juta ton.
Adhi mengatakan para produsen telah menyusun strategi untuk mengantisipasi kelangkaan gandum dalam jangka panjang. Selain mencari alternatif negara pemasok, produsen mulai melirik bahan baku pengganti gandum, seperti umbi-umbian.
“Tapi ini pun tidak bisa 100 persen dan membutuhkan waktu lama untuk melakukan inovasi,” kata Adhi.
Lebih jauh, Adhi berharap invasi Rusia ke Ukraina segera berakhir sehingga tidak menyebabkan rantai pasok global tersendat. Ia menyebut dampak perang terhadap distribusi komoditas tidak akan terlampau dalam jika perang terjadi dalam satu atau dua pekan.
Dia pun memastikan invasi Rusia sampai saat ini belum terlalu berpengaruh terhadap industri. Harga-harga makanan berbahan gandum, kata Adhi, belum mengalami kenaikan. Sebab, industri masih memiliki stok bahan baku maupun barang jadi yang dapat digunakan 1-2 bulan mendatang.