TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menetapkan bahwa aset digital non fungible token atau NFT wajib tercantum dalam Surat Pemberitahuan atau SPT Tahunan pemiliknya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menyatakan, wajib pajak harus mencantumkan seluruh asetnya dalam SPT Tahunan sebagai bentuk kepatuhan perpajakan. Artinya, tak terkecuali bagi aset digital NFT.
Meski hingga kini belum terdapat aturan spesifik mengenai aset digital seperti NFT, kata Neil, NFT harus masuk dalam pelaporan wajib pajak di SPT Tahunan dengan nilai pasar pada penghujung tahun.
"NFT dapat dilaporkan di SPT Tahunan pada nilai pasar tanggal 31 Desember," ujar Neil ketika dihubungi, Rabu, 6 Januari 2022.
Lebih jauh, Neil menjelaskan bahwa NFT belakangan telah berkembang pesat di berbagai lapisan dunia, termasuk Indonesia. NFT juga sudah menjadi objek investasi maupun jual beli.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), kata Neil, terdapat pengenaan PPh untuk setiap tambahan kemampuan ekonomis, termasuk transaksi NFT. "Untuk transaksi NFT yang menambah kemampuan ekonomis maka dikenakan PPh," tutur Neil.
Neil menyebutkan, penerapan ketentuan umum masih berlaku karena pemerintah belum memiliki aturan khusus, baik terkait transaksi NFT atau perpajakannya. Pemerintah masih membahas regulasi tersebut.
Awalnya NFT merupakan bagian yang tidak jelas dari teknologi blockchain. Kini NFT berkembang pesat dalam beberapa bulan terakhir berkat hampir semua sudut dunia seni, hiburan, dan media.
NFT aset digital yang mewakili atau menjadi bukti kepemilikan barang berharga. Aset NFT dapat dibeli dengan mata uang kripto, salah satu yang paling banyak digunakan adalah koin Ethereum (ETH).
BISNIS
Baca: Faisal Basri: Ada Salah Diagnosis Ekonomi RI, Investasi Tinggi tapi Hasilnya...