TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, melihat pemerintah salah kaprah dalam menangani masalah investasi di Indonesia. Sebab persoalan investasi yang utama bukan capaiannya, melainkan dampak yang dihasilkan dari realisasi modal masuk.
“Ada sesuatu yang salah di Republik ini. Bukan hanya di era Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Pak Jokowi ikut meneruskan atau gagal membalikkan nasib ekonomi karena salah diagnosis. Investasi banyak, tapi hasilnya rendah,” ujar Faisal dalam diskusi bersama Partai Buruh, Kamis, 6 Januari 2022.
Faisal berujar, pemerintah merumuskan Undang-undang Cipta Kerja untuk mendongkrak investasi. Padahal menurut dia, arus modal masuk ke dalam negeri sudah tinggi. Pada 2015, investasi di Indonesia mencapai puncaknya, yakni menembus 32,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand, Filipina, bahkan India, investasi di tanah Air termasuk yang tertinggi setelah Cina. Data itu mengutip World Development Indicators yang dibuat oleh Bank Dunia.
Sedangkan menurut World Investment Report United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) 2021, ranking investasi Indonesia masuk 17 besar di dunia melampaui Prancis, Vietnam, dan Jepang. Indonesia hanya setingkat di bawah Inggris dan dua tingkat di bawah Uni Emirat Arab.
Namun investasi yang tinggi tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia untuk melambung. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melorot hingga mencapai titik di bawah 5 persen setelah pandemi Covid-19.
Menurut Faisal, kondisi ini diakibatkan oleh tidak maksimalnya serapan investasi. “Ada salah fokus, high cost economy, (investasi) semua dikasih ke BUMN, tidak ada persaingan, korupsi, dan sebagainya,” ujar Faisal.
Faisal melanjutkan, pada 2022, Indonesia harus berbenah. Selain mengoptimalkan investasi, negara perlu memperbaiki sektor-sektor utama yang lemah seperti keuangan. Sektor keuangan juga harus dilihat sebagai jantung utama perekonomian Indonesia.
“Industri tidak menggeliat kalau kredit perbankan cuma 38 persen dari PDB. Lihat cina dan negara Asia lainnya, (kredit tumbuh) di atas 100 persen,” ujar Faisal Basri.
Baca: Goldman Sachs Prediksi Harga Bitcoin Bisa Melonjak hingga Rp 1,4 Miliar, Kenapa?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.