TEMPO.CO, Jakarta -PT Garuda Indonesia meraup total pendapatan sebesar US$ 568 juta atau setara Rp 8 triliun hingga September 2021. Garuda pun tekor karena biaya operasionalnya jauh lebih besar lagi yaitu US$ 1,29 miliar atau setara Rp 18 triliun, lebih dari dua kali lipat pendapatan.
"Perseroan masih mencatatkan kerugian operasional," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam penjelasannya di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa, 16 November 2021.
Irfan menyebut kerugian disebabkan oleh struktur biaya perseroan yang sebagian besar bersifat tetap atau fixed. Biaya ini tidak sebanding dengan penurunan signifikan atas pendapatan perseroan yang terimbas pandemi Covid-19.
Selain itu, Irfan juga melaporkan bahwa jumlah penumpang hingga September 2021 adalah sebanyak 2,3 juta pax. Hingga akhir tahun diproyeksikan sebanyak 3,3 juta, yakni 17 persen dari jumlah pax di tahun 2019 sebelum pandemi.
Namun, Irfan berharap pendapatan perusahaan mulai meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penumpang. Sebab, kondisi pandemi saat ini mulai terkendali dan kebijakan PPKM sudah mulai diperlonggar.
Terakhir, Irfan menyebut bahwa informasi lebih detail terkait kinerja perseroan akan dipaparkan dalam Laporan Keuangan Triwulan III nanti. "Sesuai dengan batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam ketentuan pasar modal," kata dia.
Adapun sebelumnya, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan neraca ekuitas Garuda Indonesia telah melampaui PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Garuda mengalami defisit neraca sebesar US$ 2,8 miliar dan posisi ini secara teknikal telah menyeret perseroan ke lubang kebangkrutan.
“Dalam kondisi ini sebetulnya technically Garuda sudah bankrupt (bangkrut) tapi practically belum. Kita sedang berusaha keluar dari situasi bankrupt,” ujar Tiko, sapaan akrab Kartika, dalam rapat bersama Komisi BUMN di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 9 November 2021.
Baca Juga: Garuda Sampaikan Skema Proposal Restrukturisasi kepada Lessor dan Kreditur