TEMPO.CO, Jakarta – Utang maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menembus US$ 7 miliar atau setara dengan Rp 100,6 triliun. Utang tersebut terdiri atas beban pembayaran sewa pesawat terhadap lessor.
Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Erick Thohir mengatakan perseroan kini sedang berupaya melakukan negosiasi dengan para lessornya untuk menekan utang. Restrukturisasi terhadap 31 lessor masih terus berjalan.
“Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$ 7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen dan juga korupsi lagi dinegosiasikan dengan para lessor. Meski demikian, kita tetap berusaha membuka opsi-opsi lain, paling tidak, agar bisa membantu pemulihan Garuda," ujar Erick Thohir dalam keterangannya, Kamis, 4 November 2021.
Jumlah utang Garuda Indonesia lebih besar daripada angka sebelumnya. Pada Mei 2021, utang jatuh tempo Garuda sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar dari total keseluruhan utangnya yang sebesar Rp 140 triliun.
Di tengah usaha restrukturisasi Garuda Indonesia, Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas mengkaji berbagai kemungkinan opsi untuk memulihkan bisnis penerbangan. Upaya itu bertujuan agar maskapai nasional bisa tetap bertahan di tengah gempuran utang.
Salah satu strateginya, Garuda mulai berfokus terhadap rute penerbangan domestik. Garuda memulai kerja sama dalam bentuk code sharing dengan maskapai Emirates untuk melayani penerbangan internasional.
Kerja sama code sharing ini merupakan perjanjian bisnis maskapai yang memungkinkan dua perusahaan berbagi penjualan tiket penerbangan yang sama. “ Hal ini diharapkan berdampak positif dalam mendukung orientasi baru Garuda yang akan lebih fokus melayani rute domestik,” ujar Erick.
Baca Juga: Garuda Teken MoU dengan Emirates, Erick Thohir: Restrukturisasi Terus Jalan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.