"Ini kan untuk memastikan orang yang membawa virus bisa dideteksi cepat agar tidak menularkan ke orang lain dan bisa langsung dikarantina," ujar Dicky. Selain itu, dari hasil yang ada pun bisa dilakukan pelacakan terhadap kontak-kontak lainnya. Itu lah yang menurut dia membedakan PCR dengan rapid test antigen.
Dicky mengatakan ada metode tes PCR yang efektif secara biaya, yaitu yang menggunakan saliva atau air liur. Biaya tes tersebut adalah sekitar US$ 5, atau sesuai dengan biaya yang dinilai sesuai dengan keingingan masyarakat di AS.
Karena itu, meskipun nantinya pemerintah menetapkan batas harga PCR Rp 300 ribu, ketentuan tersebut tetap memberatkan dan tidak efektif. "Kalau di AS saja US$ 5, masak di Indonesia di atasnya. Tidak masuk akal. Secara kesehatan publik, intervensi bukan dengan PCR," ujar Dicky.
Adapun membandingkan dengan Australia, Dicky mengatakan penerbangan di Negeri Kangguru tidak mewajibkan adanya pengetesan, asalkan sudah divaksin lengkap. "Itu yang menjadi syarat penerbangan domestik, bahwa dia sudah divaksinasi lengkap. Kalau di dalam provinsinya tidak, antar state pakai syarat, misalnya vaksin dan pedulilindungi, itu safety secara public health."
Baca: Bahlil Lapor Jokowi soal Rencana Freeport Juga Akan Bangun Smelter di Papua
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.