TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yuda, mengatakan langkah pemerintah mengejar target transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) tidak dapat dilakukan terburu-buru.
Transisi energi ini masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari implementasi, regulasi, maupun pembiayaannya.
"Kendala EBT belum terpecahkan secara teknologi. Kalau semua fosil langsung diganti dengan EBT hari ini, it doesn’t works," ujar Satya dalam acara diskusi publik bertajuk 'Bagaimana Persiapan Indonesia untuk COP 26 Glasgow?’ yang digelar bersama Change.org, Kamis, 21 Oktober 2021.
Transisi energi, menurut Satya, harus dilakukan secara bertahap atau gradual dengan sistem yang sudah matang. Langkah-langkah ini yang dinilai penting disampaikan dalam agenda COP 26 yang akan digelar di Glasglow, Inggris, pada 31 Oktober mendatang.
Indonesia sebelumnya telah berkomitmen mengurangi emisi melalui ratifikasi Perjanjian Paris. Indonesia ikut dalam gerakan mencapai nol emisi karbon.
Baca Juga:
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan, Masyita Crystallin, mengatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran dan insentif untuk mengurangi emisi. Pemerintah menginginkan ada sebuah transisi energi yang adil dan
terjangkau.
“Pemerintah telah memberikan dukungan melalui APBN untuk mengendalikan perubahan iklim melalui perpajakan, menyiapkan anggaran, transfer ke daerah serta memberikan pembiayaan inovatif untuk pembangunan yang berkelanjutan," ujar Masyita.
Selain insentif, ia mengklaim pemerintah telah menyiapkan instrumen lain, seperti carbon pricing. Indonesia pun menyusun peta jalan menuju nol emisi, yakni Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience atau LTS-LCCR 2050.
Dalam LTS-LCCR 2050 ini, Indonesia berencana menaikkan target pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi deforestasi secara bertahap. Pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon pada 2050 mencapai 540 juta ton CO2 pada 2050 dan pada 2060 mencapai nol emisi.
Baca juga: Empat Kebijakan SKK Migas Tekan Emisi Karbon