TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pihaknya bakal memfungsikan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Ketentuan itu telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Integrasi NIK dan NPWP tersebut, kata Sri Mulyani, tidak akan mengganggu unsur kerahasiaan data pribadi. Dia menyebut penyelarasan data itu memiliki payung hukum yang jelas.
“Walau NIK diketahui, bukan berarti data pajak bisa diterobos. Kami tetap jaga kerahasiaan data wajib pajak, baik pribadi maupun badan, karena dilindungi undang-undang,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers seperti ditayangkan melalui YouTube Kementerian Keuangan, Kamis, 7 Oktober 2021.
Adapun Pasal 2 UU HPP mengatur bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri akan memberikan data kependudukan kepada Menteri Keuangan. Pemberian data bertujuan untuk mengintegrasikan basis data perpajakan.
Sri Mulyani memastikan, meski NIK akan berfungsi sebagai NPWP, tidak berarti semua warga yang sudah memiliki kartu kependudukan diwajibkan membayar pajak. Ia menampik adanya isu yang menyebut bahwa mahasiswa bakal dikenakan pajak.
Mereka yang membayar pajak penghasilan atau PPh perorangan ialah orang yang memiliki penghasilan di atas Rp 54 juta per tahun. Sedangkan mereka dengan penghasilan Rp 0-54 juta akan dikecualikan.
Adapun mereka yang membayar pajak penghasilan ialah orang dengan gaji Rp 5 juta per bulan atau Rp 54 juta hingga Rp 60 juta. Besaran tarif pembayaran PPh ialah 5 persen. Sri Mulyani menyebut integrasi data ini akan menghasilkan tata administrasi yang lebih sederhana dan berguna bagi kepentingan nasional.
Baca: Gita Wirjawan Prediksi Transaksi Kripto Bakal Kalahkan Kartu Kredit dalam 3 Tahun