TEMPO.CO, Jakarta - Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) resmi menyita harta salah satu obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kaharudin Ongko. Penyitaan dilakukan pada Senin, 20 September 2021, terhadap harta Ongko dalam bentuk escrow account di salah satu bank swasta nasional.
Pertama, akun senilai Rp 664,9 juta. Kedua, akun senilai US$ 7,9 juta atau setara Rp 109,5 miliar. Harta Ongko ini kemudian sudah dicairkan dan masuk ke kas negara.
"Hasil sitaan sudah masuk ke kas negara sejak kemarin sore," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga anggota dewan pengarah Satgas BLBI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 21 September 2021.
Sri Mulyani mengatakan Ongko adalah salah satu obligor pemilik dua bank umum nasional. Bank milik Ongko ini menerima BLBI dari pemerintah saat krisis finansial 1997.'
Lalu, penagihan utang sudah dilakukan PUPN sejak 2008. Tapi sampai saat ini, tingkat pengembalian utang Ongko sangat kecil. Sehingga, PUPN pun melakukan upaya paksa.
Sehingga, PUPN melakukan pencekalan terhadap Ongko untuk bepergian ke luar negeri. Setelah dilakukan pencekalan, PUPUN juga melakukan eksekusi atas aset tetap dan bergerak milik Ongko.
Sebab, Ongko memang sudah menandatangani Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) sejak 18 Desember 1998. MRNIA inilah yang digunakan PUPN untuk melakukan penagihan dana BLBI kepada Ongko.
Meski sudah ada penyitaan hingga miliaran rupiah, Ongko sebenarnya punya utang BLBI sampai Rp 8,2 triliun. Hari ini, Sri Mulyani pun menyebut PUPN akan terus melakukan eksekusi terhadap aset lain yang selama ini memang sudah disampaikan Ongko.
Sejumlah instansi pemerintah terlibat, termasuk Kejaksaan Agung dan Badan Intelijen Negara (BIN). Tujuannya untuk membantu penelusuran dan identifikasi aset dari para obligor BLBI, termasuk Kaharudin Ongko.
Baca Juga: Berburu Aset Obligor BLBI, Berharap Cepat Penagihan Utang