Namun demikian, Achmad mengingatkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia 2021 tetap memiliki kelemahan dibanding 2013, yaitu pada indikator pertumbuhan ekonomi, indikator fiskal dan indikator keuangan.
“Namun harus diwaspadai pertumbuhan 2021 diprediksi di level 4,50 persen jauh lebih kecil daripada pertumbuhan 2013 di level 5,78 persen," kata Achmad.
Pertumbuhan kredit Juni 2021 yang kecil 0,59 persen dibandingkan 21,60 persen 2013 juga dinilai tidak banyak membantu pertumbuhan ekonomi di saat momen tapering off. "Meski efek taper tantrum FED 2021 tidak separah 2013, Ekonomi Indonesia tetap memiliki kerentanan ekonomi,” ujarnya.
Achmad menyatakan bahwa kerentanan ekonomi tersebut cukup fundamental karena terdapat pada besarnya defisit fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB tinggi, serta utang swasta dan total utang dalam triliun rupiah yang melonjak pada 2021 dibandingkan 2013.
Ia berharap kerentanan tersebut harus dapat diantisipasi dengan melakukan debt management terhadap SBN, utang Swasta dan utang BUMN dengan lebih baik.“Di saat yang bersamaan, defisit pada neraca transaksi berjalan saat ini dapat dikatakan berada pada level manageable."
Ia menjelaskan bahwa Bank Indonesia melalui SKB III dari skema Burden Sharing 2021-2022 telah menjadi standby buyer, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder sehingga resiko peningkatan Yield SBN dapat diminimalisir.
“Dengan intervensi BI tersebut, semoga dampak tapering off 2021/22 terhadap depresiasi rupiah masih dalam batas fundamentalnya yang wajar,” kata dia.
Baca Juga: BEI Ungkap Penyebab Anjloknya IHSG hingga ke Bawah Level Psikologis 6.000