“Beli total US$ 350 juta nilai tukar Rp 8.000. Sekarang nilai tukar sudah Rp 14.500, ada perbedaan rate Rp 6.500. Kerugian adalah US$ 350 juta x Rp 6.500 = Rp 2,275 triliun. Pembulatan Rp 2,3 triliun,” kata Peter, 14 Agustus lalu.
Di sisi lain, kerugian juga terjadi karena penurunan ekuitas. Kerugian dari total investasi karena ekuitas perusahaan yang mengalami penurunan Rp 30 triliun ditaksir mencapai Rp 5,1 triliun. “Investasi US$ 350 juta dikali RP 14.500 sama dengan Rp 5,075 triliun. Dibulatkan Rp 5,1 triliun,” tutur Peter mengimbuhkan.
Dengan demikian, kerugian investasi CT karena adanya selisih nilai tukar dan penurunan nilai ekuitas perusahaan adalah Rp 7,4 triliun. Sementara itu kerugian dari bunga simple interest atau bunga sederhana senilai 4 persen ialah US$ 14 juta per tahun.
“Bunga simple interest 4 persen, kalau US$ 350 juta x 4 persen sama dengan US$ 14 juta per tahun. Selama 9 tahun US$ 126 juta atau dengan memakai nilai tukar US$ Rp 14.500 sama dengan Rp 1,8 triliun,” ujar Peter.
Peter pun memperkirakan total kerugian CT di maskapai pelat merah sampai sekarang sudah Rp 9,2 triliun. Bila diasumsikan dengan selisih antara nilai arus kas atau NPV, total potensi kerugiannya bisa mencapai Rp 11,2 triliun. “Itulah kenapa saya bilang Rp 11 triliun karena saya hitung NPV US$ 350 juta, yah kira-kira oportunity loss,” katanya.
Bursa Efek Indonesia telah menghentikan sementara perdagangan saham Garuda pada Juni lalu. BEI menilai ada indikasi permasalahan pada kelangsungan perserian lantaran penundaan pembayaran pembagian sukuk berkala dan perpanjangan pembayaran menggunakan hak grace period.
Saham GIAA terakhir diperdagangkan pada harga 222 per lembar. Sejak awal tahun, saham Garuda anjlok 44,7 persen.
Baca: Yusuf Mansur Borong Saham REAL Rp 30 Miliar, Bagaimana Prospeknya?