“Kebanyakan negara-negara pemasok ini mengenakan pajak yang tinggi untuk ekspor bahan baku. Akhirnya kalau dihitung-hitung justru lebih mahal dibandingkan dengan impor barang jadi. Jika demikian [lebih mahal] tentu rumah sakit akan keberatan dengan harga produk yang lebih mahal,” kata Randy.
Sementara untuk importasi, Randy menyebutkan kendala yang kerap dihadapi adalah masa pemesanan yang terbatas karena proses melalui e-katalog kerap terlambat.
Rumah sakit membeli produk melalui katalog daring yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Karena penayangan di katalog terlambat, bisa sampai 6 bulan, kami hanya punya 1 semester untuk persiapan. Kami khawatir dari produsen tidak bisa antisipasi karena skema impor biasanya hanya dilakukan jika ada permintaan,” paparnya.
Terpisah, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa kebijakan kemudahan impor untuk alat kesehatan akan dipertahankan. Kelancaran rantai nilai produk-produk penting dalam penanganan Covid-19 sendiri telah menjadi norma yang disepakati negara-negara di dunia.
“Semua negara keluar dari tupoksi biasa karena ini masalah luar biasa dan kita harus address secara luar biasa. Kita juga tidak bisa mengganggu mata rantai atau tambahan biaya dalam perdagangan karena menyangkut kepentingan kemanusiaan,” kata Lutfi.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, dari 496 jenis alat kesehatan yang ditransaksikan dalam e-katalog pada 2019 sampai 2020, hanya 152 jenis produk yang bisa diproduksi di dalam negeri. Sementara 344 jenis produk lainnya masih dipenuhi lewat impor.
BISNIS
Baca juga: Anggaran Alat Kesehatan Rp 490 T, Luhut Sebut Bisa Hemat Rp 300 T Jika...