Pasalnya, kata Eriko, pemerintah sudah mempersiapkan pembayaran SBN dan sebagian besar utang pemerintah berupa SBN. "Kemudian solusi apa yang ditawarkan oleh BPK untuk mengatasi kenaikan rasio utang di tengah pandemi ini?" ujar Eriko.
Eriko berujar dalam situasi pandemi ini hampir seluruh negara di dunia berjuang melawan pandemi dengan memberikan berbagai stimulus kepada masyakaratnya. Di Indonesia, tutur dia, perjuangan dilakukan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
"Menanggapi rasio utang yang dijabarkan oleh BPK bila dikomparasikan dengan negara tetangga di Kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap PDB Indonesia jauh lebih rendah, yakni hanya 46,77 persen . Kita dapat bandingkan dengan dengan Singapura di 154 persen, Malaysia 64,62 persen, Filipina 60,4 persen dan Thailand 47,28 persen," kata dia.
Apalagi, lanjutnya, jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju seperti Amerika, Cina dan Jepang yang mencapai rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, ia menilai Indonesia masih cenderung konservatif dalam hal utang.
"Selama batas rasio utang masih mengacu berdasarkan UU Keuangan Negara yang telah ditetapkan, yakni 60 persen, itu masih dapat dikatan aman. Namun jika BPK mengacu pada standar yang ditetapkan oleh IMF tentu itu harus dapat dijelaskan secara akuntabel di sisi sebelah mana utang Indonesia dapat dikatakan sudah berbahaya?"
Baca Juga: BPK Temukan Rp 75 Triliun Investasi Asing Diduga Bermasalah