TEMPO.CO, Jakarta - Anggota komisi keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Eriko Sotarduga mempertanyakan standar yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia. Hal ini berkaitan dengan hasil kajian BPK yang menyoroti risiko peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19.
Laporan BPK menyatakan rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Penambahan utang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
"Dalam hal ini saya mempertanyakan standar apa yang digunakan oleh BPK dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia? Ini harus dapat dibuktikan secara akuntabel," ujar Eriko dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 Juni 2021.
Politikus PDIP itu meminta BPK menjelaskan, misalnya berapa banyak utang yang jatuh tempo sehingga dapat menyebabkan pemerintah gagal bayar. Pernyataan itu pun, menurut dia, harus didukung oleh rilis resmi mengenai tata Kelola keuangan negara agar tidak terjadi misleading informasi.
"Memang harus diakui rasio utang Indonesia meningkat, baik dan buruk ini tentu saja relatif. Karena itu, BPK harus dapat menunjukkan sisi mana yang berbahaya? Apakah pengelolaan utang Indonesia sesuai dengan standar akuntabilitas keuangan negara?" ujar dia.