Keberadaan TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh penolakan dari masyarakat. Penguasaan kegiatan pertambangan emas dan mineral lainnya oleh perusahaan dikhawatirkan akan merusak ekosistem lingkungan Sangihe sebagai pulau kecil.
“Kami gerakan Save Sangihe Island sudah terlebih dulu bergerak menolak PT TMS,” ujar aktivis koalisi Save Sangihe Island, Jull Takaliuang.
Penolakan oleh masyarakat diwujudkan dalam petisi kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak awal April lalu. Melalui situs Change.org, masyarakat mendesak Jokowi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) produksi TMS yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta membatalkan izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI) ESDM, saham TMS mayoritas dimiliki oleh Sangihe Gold Corporation asal Kanada. Sangihe Gold Corporation mengempit saham sebesar 70 persen dengan status kepemilikan perseroangan.
Sedangkan 30 persen lainnya dimiliki oleh perusahaan asal Indonesia. Rinciannya, sebanyak 10 persen saham TMS dikempit PT Sungai Belayan Sejati, 11 persen lainnya digenggam PT Sangihe Prima Mineral, dan 9 persen sisanya dimiliki PT Sangihe Pratama Mineral.
Perusahaan tersebut beralamat di Gedung Noble House Lantai 30, Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kavling e4.2 Nomor 2 Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dihubungi Tempo sejak Jumat, 11 Juni, melalui dua nomor telepon kantor tersebut, Tambang Mas Sangihe tidak memberikan respons.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Profil PT Tambang Mas Sangihe yang Ditentang Masyarakat Sekitar