TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai asumsi makro pertumbuhan ekonomi yang disepakati pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebesar 5,2-5,8 persen pada 2022, tidak realistis untuk dicapai.
"Jika melihat kondisi saat ini dan penjelasan mengenai aturan kebijakan insentif investasi dan manufaktur yang masih memerlukan waktu dalam tahap realisasinya, saya menilai asumsi makro untuk pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah tahun depan masih belum realistis," ujar Yusuf kepada Tempo, Rabu, 9 Juni 2021. ia mengatakan angka yang realistis untuk asumsi pertumbuhan ekonomi itu adalah di kisaran 4 persen.
Menurut Yusuf, target pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya relatif tidak terlalu tinggi untuk dicapai. Namun, ia mengingatkan bahwa tidak ada jaminan pandemi Covid-19 akan betul-betul selesai di tahun depan.
"Timeline vaksinasi pemerintah saja menargetkan di awal tahun depan pemerintah masih menjalankan proses vaksinasinya, artinya kemudian dampak full dari vaksinasi setidaknya paling cepat dirasakan di pertengahan tahun depan," ujar dia. Waktu tunggu ini lah yang, kata Yusuf, akan menahan potensi pertumbuhan ekonomi.
Terkait sektor pendorong ekonomi, Yusuf menilai industri manufaktur masih perlu didorong mencapai target pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, gejala deindustrialisasi dini masih terjadi sampai saat ini.
Sementara, beragam insentif yang ditawarkan pemerintah untuk bisa menggenjot pos ini masih belum bisa mendorong reindustrialisasi. Harapan partisipasi Indonesia dalam global value chain juga, tutur dia, masih terbatas.