TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen dinilai menghambat pemulihan konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan tarif PPN ini akan memberatkan proses pemulihan ekonomi nantinya karena ini akan berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat,” kata Peneliti Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Bisnis, Selasa, 1 Juni 2021.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 konsumsi rumah tangga menopang 57,66 persen distribusi Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, jika konsumsi tertekan maka jalan pemulihan ekonomi makin terjal.
Yusuf menambahkan, kebijakan ini akan berdampak pada seluruh masyarakat, baik kalangan pekerja formal maupun informal. Persoalannya, pekerja informal sejauh ini masih belum mampu memperoleh penghasilan sejalan dengan pembatasan aktivitas sosial.
Yusuf menyadari pemerintah tengah fokus untuk melakukan penyehatan fiskal setelah sejak tahun lalu bekerja ekstra keras untuk menangani dampak pandemi Covid-19. Namun, menurutnya, tidak selayaknya pemerintah menelurkan kebijakan yang berkaitan dengan daya beli atau konsumsi.
“Upaya konsolidasi fiskal harus beriringan pada upaya pemulihan. Di sisi lain, pemerintah masih bisa mendorong kenaikan penerimaan pajak melalui cara lain baik intensifikasi maupun ekstensifikasi.”