Untuk program co-firing, Zulfikli mengatakan hingga 2025, pihaknya menargetkan dapat berjalan di 52 lokasi PLTU dengan kapasitas 10,6 giga watt (GW) dan kebutuhan pelet biomassa sebanyak 9 juta ton per tahun.
Ia menjelaskan program co-firing PLTU batubara, yang sudah dimulai uji coba pada 2018 itu, memiliki banyak manfaat.
Selain peningkatan penggunaan EBT dan lingkungan menjadi lebih bersih, program tersebut juga memberdayakan masyarakat melalui penyiapan biomassa dan pembuatan pelet.
"Dengan pemberdayaan ini, penghasilan masyarakat meningkat, ekonomi masyarakat bergerak dan selanjutnya ekonomi daerah juga bergerak," ujarnya.
Melalui program co-firing PLTU, lanjutnya, maka lahan-lahan kering bisa dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan penghasilannya.
Selain itu, co-firing hanya dijalankan di PLTU eksisting dan tidak perlu membangun PLTU baru, sehingga investasi tidak banyak.
"Dengan program co-firing berbasis kerakyatan ini, banyak manfaat sekaligus dapat diraih," katanya.
Zulkifli mencontohkan sampah di Surabaya, Jawa Timur, selain digunakan untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), juga dapat dimanfaatkan untuk co-firing.
Saat ini, dari produksi sampah di Surabaya sebesar 4.000 ton per hari, sudah dimanfaatkan untuk PLTSa Benowo berkapasitas 9 MW sebesar 1.000 ton per hari. "Masih ada sisa 3.000 ton per hari yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku co firing di PLTU sekitar," katanya.