TEMPO.CO, Jakarta - Citigroup Inc. diprediksi bakal meraup dana hingga US$ 6 miliar atau sekitar Rp 87 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per dolar AS) dari penjualan aset bisnis perbankan ritelnya di 13 negara di kawasan Asia Pasifik, Eropa, dan Timur Tengah.
Dilansir Bloomberg pada Jumat, 23 April 2021, proyeksi raihan dana itu didasarkan pada proses penjualan yang sudah berjalan, misalnya di Australia. Seorang sumber yang tak ingin disebutkan namanya menyebutkan sudah banyak perusahaan lokal yang berminat pada penjualan aset Citi di negara kangguru tersebut.
Selain Australia, Citi menargetkan untuk keluar dari negara lain, seperti di kawasan Asia Tenggara dan Polandia, pada tahap awal. Proses keseluruhan penjualan aset bisnis ritel Citi saat ini masih berada di tahap awal dan timeline serta valuasi masih bisa berubah.
"Kami sudah mulai (penjualan aset bisnis ritel) dan tidak ada waktu yang disia-siakan," kata CEO Citi Jane Fraser pada konferensi pekan lalu.
Citigroup sebelumnya telah mengumumkan rencana keluar dari pasar bisnis ritel di Australia, Bahrain, China, India, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Polandia, Rusia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Namun, Citi tetap melayani nasabah korporasi dan segmen private-banking di ketiga belas negara tersebut. Langkah ini merupakan sebuah upaya penyegaran dari Citigroup di bawah komando Fraser, yang menjadi pemimpin perusahaan pada Maret lalu.
Bisnis dari 13 negara tersebut menyumbang US$ 4,2 miliar terhadap pendapatan Citigroup pada tahun 2020. Tapi pendapatan itu digerogoti biaya operasional dan pencadangan, yang pada akhirnya membuat bisnis di 13 negara tidak memperoleh keuntungan.
Setelah melepas aset ritel tersebut, Citigroup akan mengoperasikan bisnis konsumer di kawasan Asia Pasifik, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika dari empat wealth center di Singapura, Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan London.
BISNIS
Baca: CEO Citi Indonesia Bicara Dampak Citigroup Tutup Bisnis Consumer Banking di RI