Selain itu, buruh tidak memiliki waktu untuk berbelanja mempersiapkan makan minum serta kebutuhan untuk hari raya. Walhasil, dana THR berpotensi tidak dibelanjakan sehingga harapan pemerintah untuk mendongkrak konsumsi masyarakat tidak tercapai.
Di samping itu, klausul tentang tenggat pembayaran THR dinilai membingungkan dan sulit dilaksanakan oleh perusahaan. Sebab, ketentuan itu hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 serta tidak membuka ruang bagi perusahaan yang tidak mampu untuk mencicilnya.
“Bagaimana logika berpikir yang dibangun dalam SE ini, bila perusahaan tidak mampu membayar THR pada H-7 karena terdampak Covid dan tidak diberi ruang mencicil, diwajibkan membayar THR di H-1. Saya kira perusahaan akan sangat sulit mencari dana dalam waktu enam hari,” ujar Timboel.
Adanya pergeseran waktu pembayaran THR dari H-7 ke H-1 diduga membuka peluang pengusaha mengemplang pembayaran kewajiban semakin besar. “Kalau hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 maka poin-poin lainnya dalam aturan akan relatif percuma, mengingat akan ada kesulitan perusahaan yang terdampak Covid-19 untuk membayar THR pada H-1,” katanya.
Timboel mensinyalir surat edaran ini hanya dibuat sebagai jalan tengah lantaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mewajibkan perusahaan membayar THR kepada pekerja secara penuh atau tidak boleh dicicil. “Ini salah satu prestasi buruk Menteri Ketenagakerjaan yang gagal memberikan kepastian bagi pekerja untuk mendapatkan THR,” katanya.
Baca: Jawab Protes Pekerja Soal Upah Dipotong, KFC: Berlaku untuk Semua