JAKARTA-Penyebab rendahnya permintaan dan penyaluran kredit perbankan bukan karena suku bunga kredit yang tinggi, melainkan akibat keraguan masyarakat terhadap kesanggupan pemerintah menangani pandemi Covid-19. Demikian pendapat
"Terkait pasar kredit yang belum membaik, masalahnya bukan di ekonomi. Jadi salah besar kalau dikasih obat suku bunga dan likuiditas. Masalahnya ada ketakutan di masyarakat karena pandemi belum bisa dikendalikan dengan baik oleh pemerintah. Ada pembatasan kegiatan masyarakat dan bisnis yang tidak growth, jadi pengusaha takut ngambil kredit, takut nggak bisa bayar," ujar analis pasar uang dari Bank Woori Bersaudara Rully Nov dalam rilis, Kamis, 4 Februari 2021.
Menurut Rully, krisis di tahun-tahun yang lalu, kesulitan terjadi akibat masalah ekonomi. Karena itu, formula untuk menjaga dan menaikkan permintaan kredit bisa melalui suntikan likuiditas serta penerapan disiplin fiskal. Sedangkan krisis saat ini akibat pandemi. Pendekatan yang diambil untuk mengatasi krisis harus berbeda dibanding sebelumnya.
"Saya lihat pemerintah sudah habis-habisan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong kredit, tapi memang masih ada ketakutan di masyarakat. Jadi resepnya ya memulihkan ketakutan di masyarakat, membuat masyarakat confident bahwa kita bisa melewati tantangan pandemi ini," katanya.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, tren penurunan suku bunga kredit perbankan yang cenderung lambat dipengaruhi meningkatnya risiko kredit karena penurunan aktivitas ekonomi dari sisi permintaan dan penawaran. Dia menilai tren penurunan suku bunga kredit perbankan akan berlanjut sepanjang 2021.
"Ke depannya, suku bunga kredit modal kerja berpotensi turun lebih mempertimbangkan bahwa permintaan kredit modal kerja yang akan cenderung pulih lebih awal, dengan catatan pemulihan ekonomi domestik berimplikasi pada meningkatnya permintaan kredit untuk modal kerja," ujarnya.
Pada awal Januari lalu, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mengungkapkan tren penurunan suku bunga pinjaman telah berlangsung sejak 2015 bersamaan dengan turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia. Namun, selama penurunan suku bunga kredit terjadi, permintaan kredit tidak mengalami kenaikan signifikan.
Penurunan bunga acuan sebenarnya telah diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan. BRI telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps - 150 bpssepanjang 2020. Penurunan suku bunga tersebut sebagai dukungan terhadap UMKM yang sedang bergelut dengan kondisi pandemi.
BRI menjadi salah satu bank yang dianggap berhasil mendorong pertumbuhan kredit. Penyaluran total kredit BRI telah mencapai Rp 938,37 triliun atau tumbuh 3,89 persen yoy sepanjang 2020, bahkan kredit mikro BRI mampu tumbuh double digit sebesar 14,18 persen. Angka tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional pada 2020 yang diperkirakan OJK berada di kisaran minus 1-2 persen. (*)