Presiden Joko Widodo berharap program ini segera terealisasi. Dia meminta kepala daerah di wilayah yang terdapat pembangunan food estate untuk mempercepat perizinan. "Para gubernur yang di wilayahnya ada pembangunan food estate agar percepatan terhadap perizinan, terhadap hal yang berkaitan dengan lapangan diberikan dukungan lebih," katanya.
Ketua Pusat Perbenihan Nasional Serikat Petani Indonesia, Kusnan, menyatakan penyebab utama produktivitas pertanian rendah justru berasal dari buruknya sistem irigasi. "Di Jawa saja yang tanahnya subur masih banyak yang tidak ditata," katanya.
Faktor iklim pun turut andil mempengaruhi produktivitas. Kusnan mencatat perubahan iklim menimbulkan jenis hama dan penyakit baru yang mengancam tanaman. Namun penelitian yang kurang membuat masalah ini sulit diatasi.
Kusnan mengatakan kualitas pupuk juga berperan penting. Dia menduga kualitas pupuk subsidi yang banyak digunakan petani tak sebaik pupuk non subsidi. "Hasilnya lebih bagus kalau menggunakan non subsidi," kata dia.
Menurut dia, pemerintah seharusnya berfokus pada sumber masalah penurunan produktivitas ketimbang mengurus food estate. Pasalnya program ini telah disusun presiden-presiden sebelumnya namun tak menunjukkan hasil. Belum lagi pembukaan lahan untuk food estate ini dilakukan di lahan gambut yang produktivitasnya rendah dan berpotensi merugikan petani.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyatakan program food estate berpotensi memberi ruang besar bagi korporasi untuk ikut berinvestasi.
Keikutsertaan korporasi yang difasilitasi dalam skema Kerjasama Kementan dengan Badan Usaha akan memperparah ketergantungan pangan Indonesia. "Karena memberikan tanggung jawab soal pangan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia," katanya.
BACA: Jokowi Minta Proyek Lumbung Pangan di Sumut dan Kalteng Rampung Tahun Ini