Sengketa itu berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Per Juni 1998 PGN menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang Rp terhadap dolar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.
Terkait hal ini, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan PGN berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.
DJP lalu menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 Triliun untuk 24 masa pajak. PGN juga tercatat ada sengketa pajak lain selama periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 miliar.
PGN lalu mengajukan upaya hukum keberatan dan DJP menolaknya. Berikutnya PGN mengajukan upaya hukum banding lewat pengadilan pajak dan dikabulkan.
Selanjutnya, DJP mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke MA. MA lalu memutuskan permohonan PK oleh DJP dikabulkan dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun.
Atas keputusan ini, PGN menyebutkan punya potensi kewajiban bayar pokok sengketa pajak ditambah denda. Tapi PGN tetap berusaha menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut.
ANTARA | RR ARIYANI
Baca: Februari 2021, Erick Thohir Akan Jajaki Kerja Sama Mobil Listrik dengan Tesla