TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil Manggarai Barat berkali-kali menolak pembangunan kawasan Taman Nasional Komodo (TN Komodo) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sikap keberatan ini didasari oleh kegelisahan masyarakat terhadap ancaman kepunahan satwa endemis komodo di Pulau Flores.
“Pembangunan yang sifatnya ekspolitasi dan ekstraksi itu haram,” ucap Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Aloysius Suhartim Karya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 25 Oktober 2020.
Upaya penolakan tersebut disuarakan oleh kelompok masyarakat sejak lama. Dalam dua tahun ke belakang, misalnya, forum yang tergabung dalam Formapp sudah menyampaikan protesnya kepada pemerintah.
Berikut ini rekam perjalanan penolakan masyarakat terhadap pembangunan Labuan Bajo yang dihimpun Tempo.
2018, masyarakat menolak pembangunan rest area.
Pada Agustus 2018, Formapp menolak rencana pembangunan rest area di kawasan Pulau Rinca dan Pulau Padar yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo atau TNK. Kala itu, konsesi pembangunan sudah diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism untuk konsesi seluas 426,07 hektare. Sebesar 274,13 hektare berada di kawasan Pulau Padar dan 151,94 hektare lainnya di Pulau Komodo.
Kemudian konsesi di Pulau Rinca digenggam PT Sagara Komodo Lestari (SKL). SKL memperoleh izin konsesi seluas 22,1 hektare untuk pembangunan rest area seperti restoran, penginapan ranger, serta fasilitas lainnya.
Penolakan Formapp ditunjukkan dengan demo yang dihelat di depan Kantor DPRD Manggarai Barat. Demo diikuti sejumlah aktivis lingkungan hingga pelaku usaha wisata. Tuntutan Formapp, pemerintah diminta membatalkan rencana pembangunan rest area karena ditengarai menyalahi Pasal 19, 21, dan 33 Undan-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.