TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai sikap DPR dan pemerintah yang menyepakati pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) di tengah pandemi adalah bentuk kejahatan konstitusi. Ia memandang pemerintah membatasi ruang gerak aliansi masyarakat dan tidak mendengarkan aspirasi buruh.
“Buruh, petani, masyarakat adat, nelayan perempuan, mahasiswa, pemuda masyarakat miskin, kelompok rentan di desa kembali dikorbankan. Sikap-sikap serta langkah DPR dan pemerintah merupakan kejahatan konstitusi,” ujar Dewi dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual, Ahad, 4 Oktober 2020.
Dewi mengatakan pembahasan yang terkesan buru-buru di Parlemen telah menunjukkan bahwa agenda pembangunan dan legislasi negara tidak mementingkan kepentingan masyarakat. Ia menganggap pemerintah dan DPR justru memihak kepentingan segelintir kelompok.
Selain itu, pemerintah dan DPR dipandang telah menerapkan standar ganda pada situasi pandemi Covid-19. Dewi menerangkan, pada saat masyarakat menjalankan secara tertib pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, pemerintah dan DPR justru bermufakat menetapkan RUU Cipta Kerja untuk disahkan di Paripurna. Padahal, RUU ini menuai banyak penolakan.
Standar ganda juga tercermin dari sikap-sikap represif yang masih terjadi di lapangan. Selama pandemi, KPA mencatat aparatur negara telah melakukan penggusuran terhadap tanah rakyat. Sebanyak 39 petani, masyarakat adat, dan nelayan ditangkap akibat persoalan lahan tersebut.