Sebetulnya, kata Sri Mulyani, sebelumnya pemerintah telah merintis National Single Window yang menghubungkan beberapa kementerian dan lembaga. Namun, langkah itu belum mempermudah transaksi dengan pelaku usaha.
National Single Window, kata dia, selama ini lebih bersifat koordinasi antar lembaga dan kementerian di pemerintah, namun pelaku usaha seperti eksportir, importir, dan pelaku usaha logistik belum terkoneksi dengan baik. “Jadi yang terjadi adalah importir eksportir dan pelaku logistik harus berkali-kali melakukan submission dan proses untuk berhubungan dengan pemerintah maupun di antara mereka. Jadi ada proses repetitif dan rumit.”
Sri Mulyani mengatakan nantinya pelaku usaha seperti pengusaha truk, kontainer, depo, perkapalan hingga pembayaran bisa dimasukkan ke dalam ekosistem logistik nasional. Sehingga semua pihak di dalam ekosistem tidak perlu lagi memasukkan dokumen berulang-ulang untuk melakukan proses logistik.
Pemerintah berharap langkah penataan logistik ini berimbas ke biaya logistik nasional. Pasalnya, saat ini biaya logistik di Tanah Air masih jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangga di ASEAN, misalnya Malaysia dan Singapura. Biaya logistik di Indonesia saat ini masih sekitar 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto, lebih tinggi dari Malaysia yang sekitar 13 persen dari PDB.
“Performa logistik kita dalam EODB mengenai berapa jumlah hari, jam, waktu untuk selesaikan logistik itu belum menunjukkan perbaikan signifikan,” tuturnya. Karena itu, Sri Mulyani mengatakan upaya mereformasi bidang logistik nasional menjadi keharusan. “Terutama dalam menghubungkan sektor transportasi dan untuk mensimplifikasi proses, menghilangkan repetisi dan bisa memberikan kemudahan bagi pelaku usaha.”
Baca: Luhut Usul ke Sri Mulyani Beri Tunjangan Prestasi Bagi Aparat di Perbatasan