Penanggung jawab proyek ini memang Pelindo IV. Tapi, Mereka menggandeng BUMN lain yaitu PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau yang biasa dikenal PT PP. Boskalis pun menjadi mitra dari PT PP.
"Pengerukan pasir yang dilakukan Boskalis sekarang ini membuat nelayan merasa resah, karena setiap nelayan keluar cari ikan selalu tidak dapat karena airnya keruh," kata Zakia, salah seorang istri nelayan Pulau Kodingareng dalam konferensi pers Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, Jumat, 24 Juli 2020.
Akibatnya, kata Zakia, pendapatan nelayan di Pulau Kodingareng menurun drastis akibat. Sebelum Boskalis mengeruk pasir, nelayan bisa mendapatkan 5 hingga 10 ekor jenis tenggiri. Kini, mereka hanya bisa dapat 1 ekor. "Kadang ga ada kami dapat," kata Zakia.
Tak hanya tangkapan ikan yang berkurang, harga di pasaran juga jatuh. Sebelum pandemi Covid-19, Zakia menyebut harga ikan tangkapan nelayan dihargai Rp 45 sampai Rp 60 ribu per kilo. Kini, hanya Rp 25 ribu per kilo.
6. Jatam Menilai Terjadi Penjajahan Ruang Hidup
Sejumlah organisasi masyarakat sipil terlibat dalam koalisi ini mendampingi Zakia dan nelayan lain. Mulai dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). "Yang terjadi menurut saya saat ini adalah penjajahan terhadap ruang hidup nelayan di Sulawesi," kata Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah.
Menurut Merah, ada tiga perusahaan yang terlibat langsung dalam kasus ini. Selain Boskalis, ada juga PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia sebagai pemasok untuk MNP. Akibat operasi ini, nelayan pun harus mencari ikan.
Menurut dia, kapal Queen of The Netherlands pun hanya berjarak 200 meter dari pesisir pantai Pulau Kodingareng. Tak ayal, aktivitas penambangan pasir oleh Boskalis merusak terumbu karang dan mengancam pulau yang dihuni nelayan.