TEMPO.CO, Jakarta – PT Kereta Api Indonesia (Persero) diperkirakan akan mengalami defisit kas operasional sebesar Rp 3,4 triliun hingga akhir 2020. Tekornya PT KAI ini akibat berkurangnya mobilisasi masyarakat selama pandemi.
Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartyanto, mengatakan bahwa pendapatan perseroan telah anjlok sejak Maret 202). Tepatnya, sejak kasus positif corona pertama kali ditemukan di Indonesia.
“Kalau dilihat dari kas yang dihasilkan operasi, pada Januari kami masih positif Rp 606 miliar dan Februari positif Rp 485 miliar. Sedangkan Maret minus Rp 584 miliar,” tuturnya dalam rapat bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 8 Juli 2020.
Sedangkan bila ditilik dari kas bersih yang telah dikurangi komponen bunga, beban keuangan, dan pajak penghasilan, perusahaan telah mengalami defisit sebesar Rp 693 miliar pada bulan tersebut. Berturut-turut pada April 2020, perusahaan mengalami nasib serupa dengan nilai defisit Rp 811 miliar, pada Mei Rp 414 miliar, dan Juni sebesar Rp 574 miliar.
Di saat pendapatan yang terus turun, perusahaan juga harus membayar gaji karyawan sebesar Rp 26 miliar per bulan dan komponen operasional yang lain. Apabila skenario terburuk terus terjadi, total kerugian BUMN ini pada akhir tahun akibat buruknya neraca kas perusahaan mencapai Rp 1,87 triliun dari RKAP 2020.
Karenanya, Didiek mengungkapkan bahwa PT KAI sangat memerlukan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp 3,5 triliun. Dana talangan itu akan dimanfaatkan untuk lima komponen kebutuhan, yakni perawatan sarana perkeretaapian sebesar Rp 680 miliar, perawatan prasarana termasuk bangunan Rp 740 miliar, pemenuhan biaya pegawai Rp 1,25 triliun, biaya bahan bakar Rp 550 miliar, dan pendukung operasional lainnya Rp 280 miliar.
Di sisi lain, perseroan berupaya meningkatkan pendapatan dari sisi angkutan kargo. “Kami berupaya mengangkut barang UMKM, meubel, sayuran, ikan, semua diangkut meski (pendapatan) tidak seberapa),” ucap Didiek.