TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan soal kewenangan baru yang dimiliki oleh lembaganya, yaitu membeli surat utang negar atau surat berharga negara (SBN) dari pasar perdana. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang resmi berlaku pada 31 Maret 2020.
“Mohon jangan diartikan ini sebagai Bailout, mohon jangan diartikan ini sebagai BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” kata Perry dalam konferensi pers online di Jakarta, Kamis, 2 April 2020. Pernyataan ini disampaikan Perry, setelah ia melihat sejumlah pemberitaan yang menyebutkan bahwa mereka akan melakukan aksi seperti BLBI.
Baca Juga:
BLBI adalah bantuan kucuran dana Rp 144,5 triliun yang diberikan BI kepada 48 bank yang terkena penarikan besar-besaran (rush) pasca krisis moneter 1997/1998. Para pemegang saham bank penerima BLBI harus mengembalikannya dengan sejumlah skema. Namun, hingga 2007, banyak pengutang BLBI yang belum melunasi kewajibannya. Hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008 pun menunjukkan ada penyimpangan penyaluran BLBI dan kelalaian yang menimbulkan kerugian negara Rp 138,4 triliun.
Adapun saat ini, pemerintah bersiap menerbitkan surat utang baru berupa Pandemic atau Recovery Bond untuk membiayai besarnya anggaran penanganan virus corona atau Covid-19. Lalu, terbitlah Perpu 1 Nomor 2020 yang memberikan kewenangan bagi BI untuk memberi surat utang tersebut di pasar perdana.
Pasal 19 dalam Perpu ini menyebutkan BI dalam membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah. Sementara, Pasal 55 ayat 4 pada UU BI menyebutkan bahwa BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Walhasil, Pasal 55 ayat 4 ini pun gugur dengan adanya Perpu tersebut.
Perry mengatakan pemerintah saat ini telah melakukan sejumlah upaya untuk membiayai defisit fiskal 5,07 persen dalam menangani virus corona. Beberapa cara dilakukan, mulai dari realokasi anggaran, penggunaan dana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), dan sejumlah dana lain di bawah pemerintah.
Di saat yang bersamaan, kata Perry, BI dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga melihat peluang tambahan pembiayaan dari pasar melalui penerbitan surat utang. Pilihannya bisa dengan meningkatkan penerbitan SUN atau SBSN Global Bond. Lalu, ada juga rencana meningkatkan target SBN dalam negeri yang kini baru Rp 15 triliun setiap lelang.
Minggu lalu, kata Perry, besaran pembelian surat utang bahkan mencapai Rp 30 triliun dan menandakan pasar masih memiliki kemampuan untuk membeli surat utang. Perry juga berbicara dengan investor global. “Mereka melihat penerbitan bond di tingkat global masih memungkinkan, apakah bisa ditingkatkan dari rencana US$ 8 miliar, menjadi lebih dari US$ 10 miliar, ini sedang dirumuskan,” ujar Perry.
Jika satu waktu, pasar tidak lagi memungkinkan untuk menyerap, karena bisa menyebabkan suku bunga yield surat utang meningkat tinggi dan tidak rasional, barulah BI masuk membeli. Skema ini tidak pernah dilakukan BI sebelumnya karena akan menimbulkan kenaikan uang beredar dan berdampak pada inflasi.
Pilihan ini disiapkan karena kondisi yang saat ini terjadi dinilai tidak normal. Meski begitu, Perry memastikan pembelian surat utang oleh BI adalah pilihan terakhir, jika diperlukan. Setelah kondisi kembali normal dan pasar memiliki kapasitas untuk memberi, maka BI akan kembali angkat kaki dari opsi pembelian surat utang di pasar primer. “Kami akan lakukan lagi di pasar sekunder, untuk stabilisasi nilai tukar rupiah,” kata dia
Di akhir pernyataannya, Perry pun menegaskan bahwa kewenangan yang dimiliki BI tersebut adalah pilihan terakhir yang ada. “Jangan disamakan dengan BLBI,” ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO