TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan atau Kemenhub membatasi kegiatan pembangunan fisik prasarana perkeretaapian yang melibatkan banyak pekerja menyusul digalakkannya gerakan jaga jarak interaksi atau physical distancing. Kebijakan tersebut diambil untuk mencegah meluasnya penyebaran virus corona atau Covid-19 sesuai protokol yang dirilis Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Langkah itu juga dilakukan untuk memberikan perlindungan serta mewujudkan keselamatan dan kesehatan konstruksi," kata Direktur Prasarana Perkeretaapian Heru Wisnu Wibowo dalam keterangannya, Sabtu, 28 Maret 2020.
Heru menjelaskan, Kementerian Perhubungan saat ini memiliki beberapa balai yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Masing-masing balai itu tengah menggarap proyek pembangunan jalur, stasiun, serta fasilitas perkeretaapian lainnya.
Adapun protokol pembatasan kegiatan pembangunan prasarana ini termaktub secara resmi dalam Surat Edaran Nomor KA.008/A.98/DJKA/20 tentang Tindak Lanjut Protokol Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada pelaksanaan pembangunan perkeretaapian. Surat ini akan menjadi panduan bagi seluruh balai perkeretaapian serta stakeholders dalam menjalankan pekerjaan.
Heru berharap, dengan surat ini, pihak-pihak terkait bisa menerbitkan standar operasional prosedur atau SOP untuk mencegah meluasnya infeksi Covid-19 di tengah pengerjaan proyek. Meski begitu, dia meminta kebijakan ini tidak mengganggu keberlangsungan pembangunan.
Adapun secara rinci, Heru menjelaskan protokol itu berisi sekitar tujuh poin. Pertama, pekerjaan Switch Over yang melibatkan jumlah personel yang banyak (tidak dimungkinkan untuk menjaga jarak) ditunda sementara.
Kedua, pihak terkait mesti melaksanakan pembatasan personel. Pekerja juga harus menjaga jarak serta menggunakan alat pelindung diri (APD) serta masker untuk proyek melibatkan banyak orang. Ketentuannya adalah kegiatan pra-konstruksi dan konstruksi untuk pekerjaan jalur dan bangunan KA termasuk track laying, pengecoran bantalan, menggeser atau mengangkat rel/ wesel. Kemudian, kegiatan instalasi atau test and commissioning peralatan fasilitas operasi kereta.
Ketiga, adanya pengaturan shifting, jaga jarak, dan penggunaan APD serta masker pada saat melaksanakan HTT, MTT dan pengelasan rel/setting wesel. Keempat, adanya pengaturan shifting, jaga jarak, serta penggunaan masker dalam pengawasan pekerjaan konstruksi prasarana perkeretaapian.
Kelima, pengguna jasa, konsultan dan kontraktor harus membatasi interaksi langsung antar-orang. Sebagai gantinya, komunikasi bisa dilakukan menggunakan media elektronik dan telekomunikasi (teleconference) untuk rapat, pemeriksaan dokumen shop drawing/as built drawing, dan diskusi.
Keenam, untuk kegiatan verifikasi dan pembayaran pengadaan atau penertiban lahan yang melibatkan orang banyak, pelaksana harus menerapkan shifting atau pengaturan waktu. Pelaksana juga mesti mengatur jumlah orang dan mengatur jaraknya.
Ketujuh, seumpama proyek harus diberhentikan sementara, mekanismenya dilakukan sesuai dengan klausul dalam kontrak. Kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat.
Kedelapan, penanggung jawab proyek harus melakukan pengendalian dan mitigasi terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap proyek yang menjadi tanggung jawabnya.
Di samping itu, Direktur Jenderal Perkeretaapian juga menerbitkan Surat Edaran NO. UM.006/A.95/DJKA/20 tentang Upaya Pencegahan Penyebaran Virus Covid-19 pada Sarana dan Prasarana Perkeretaapian. Dalam surat edaran tersebut, semua stakeholder perkeretaapian, baik pemerintah maupun swasta, harus melakukan pencegahan penularan Covid-19 di sarana dan prasarana perkeretaapian dengan berpedoman pada protokol pencegahan yang sudah dikeluarkan pemerintah.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA