Hari sibuk ini menunjukkan satu hal: Google mulai datang ke Indonesia. Bukan sekedar mesin pencari situs Internet atau aplikasi lain dipakai orang Indonesia, tapi perusahaan online terbesar dunia itu juga mulai serius mencari pengiklan dari dari negeri ini.
Seminar di Indonesia dengan Callow sebagai pembicara adalah langkah yang patut dicatat. "Ini pertama kali acara formal agar bisa mendekati pasar Indonesia," kata Callow.
Tapi Callow mesti waspada. Ia tidak sendirian mengincar Indonesia. Pesaing terberatnya, Yahoo!, juga mulai serius menggarap Indonesia. Dua pekan sebelumnya dua petinggi Yahoo!, yang sedang di Jakarta, juga menyempatkan mengundang para wartawan.
Google dan Yahoo!, seperti di wilayah dunia lain, bersaing keras merebut pasar Indonesia dengan alasan sederhana. Indonesia memiliki penduduknya yang sangat banyak. "Negara berpenduduk terbesar keempat di dunia," kata Pontus Sonnerstedt, Direktur Senior Pengembangan Bisnis Yahoo! Asia Tenggara.
Selain itu, sekarang baru sekitar 10 persen penduduk Indonesia yang tersambung Internet. Artinya, ini masih bisa berkembang pesat. "Mungkin bisa mencapai 40 juta orang tahun depan," kata Sonnerstedt. "Jika ini terjadi, Indonesia akan memiliki industri internet terbesar--dalam arti jumlah pengguna--di Asia Tenggara."
Alasan lain lagi adalah industri periklanan yang cukup besar. Total belanja iklan Indonesia mencapai Rp 25 triliun. "Salah satu pasar periklanan terbesar di Asia Tenggara," kata Sonnerstedt.
Hanya satu yang masih menjadi tantangan besar bagi pasar Indonesia. Dari belanja iklan sebesar itu, masih terlalu sedikit yang dibelanjakan untuk beriklan di Internet.
Satu langkah sama dilakukan baik Yahoo! maupun Google agar belanja untuk iklan Internet meningkat yaitu meningkatkan pengetahuan bagi para calon pemasang iklan. Ini yang membuat Yahoo! dan Google berbicara kepada para wartawan. Ini pula yang membuat Google! berpartisipasi dalam seminar di Jakarta.
Tapi hanya di sisi itu pula kesamaan terjadi. Dalam sisi produk, kedua raksasa Internet itu sangat berbeda.
Google masih mengandalkan mesin pencari sebagai tambang emas meraih pengiklan. Sebaliknya Yahoo! tetap bersikukuh dengan portalnya. Yahoo! bahkan terus melokalkan produk portal Yahoo! agar orang bersedia menjadikan halaman depan portal ini sebagai titik awal menjelajah Internet.
"Kami akan mengembangkan produk lokal menarik bagi pengguna," kata Sonnerstedt. "Kami mengembangkan produk dalam Bahasa Indonesia."
Sejak tiga tahun silam, misalnya, mereka mulai menampilkan search engine bahasa Indonesia. Tahun berikutnya membuat halaman muka "Yahoo! Indonesia" dengan alamat www.yahoo.co.id.
Mereka juga berhubungan dengan para pengembang Internet. Untuk berita, misalnya, Yahoo! sudah bekerjasama dengan dua media online lokal. "Kami tidak membuat berita sendiri, kami berpartner dengan pemain media yang ada di pasar," kata Sonnerstedt.
Satu-persatu produk berbahasa Indonesia terus ditambah termasuk layanan informasi nomor dua setelah wikipedia.com yaitu Yahoo! Answers. "Satu persatu layanan kami tampilkan dalam bahasa Indonesia," kata Sonnerstedt.
Layanan yang sudah ada juga disempurnakan. Email, misalnya, di masa mendatang akan diurutkan berdasarkan hubungan dengan Anda, bukan dengan urut masuk seperti sekarang ini.
Sedang Google tetap percaya diri pada mesin pencarinya. Mereka lebih memusatkan perhatian agar orang--termasuk pengusaha kecil--makin gampang beriklan di mesin pencari dan aplikasi mereka.
Callow mengatakan beriklan di Google bisa dimulai dengan paket yang harganya hanya Rp 90 perklik. Artinya, pemasang iklan hanya perlu membayari Google Rp 90 jika ada yang mengeklik iklan di mesin pencari Google. Jika tidak ada yang mengeklik, pemasang tidak dikenai biaya apapun meski iklan itu terus-menerus nongol.
"Dengan hanya membayar yang diklik, Anda menjadi sangat efisien," kata Callow.
Google memang menerapkan model bayar perklik untuk iklan yang dipasang pada mereka. Ini salah trik andalan Google. Model ini memungkinkan pemasang iklan mengendalikan penuh iklan yang dipasang. Pemasang, misalnya, bisa menentukan anggaran iklan setiap harinya. Jika anggarannya hanya 10 kali klik, maka setelah ada 10 orang yang mengeklik, iklan itu akan berhenti tayang.
Sistem beriklan di Internet lain adalah dengan biaya tetap selama masa waktu tertentu. "Bagi Google mungkin ini lebih menguntungkan," kata Callow. Tapi Google memutuskan tidak menggunakan cara ini, tapi memilih sistem bayar perklik ini agar pemasang lebih menyukai.
Andalan Google lain yang sangat dibanggakan adalah adalah relevansi iklan dengan isi mesin pencari. Jika Anda sedang mencari tahu harga ponsel, misalnya, maka iklan yang terpasang juga yang terkait dengan ponsel itu. "Kami menempatkan iklan berdampingan dengan yang dicari orang," katanya.
Dengan sistem ini pula Google menentukan tarif iklan yang dipasang. Harga dasar Rp 90 itu bisa naik jika kata kunci yang dipilih untuk beriklan, ternyata juga diminati pengiklan yang lain. Semakin banyak yang memilih kaca kunci sama, semakin mahal harga perklik.
Selain mesin pencari, Google juga memasang iklan ini pada produk layanan email gratis Gmail. Jadi, iklan akan dicocokkan pada pesan yang ditulis pada email. Saat email menulis tentang kamera, misalnya, iklan yang muncul juga akan terkait kamera. "Tapi (pemasukan dari pola) ini sangat kecil. Hampir semuanya dari search," kata Callow.
Yang tidak dijual Google adalah iklan pop up karena dianggap bisa mengganggu konsentrasi pengguna mesin pencari andalan mereka. "Kami tidak menyediakan banner, kami bisa memberi relevansi pada iklannya," kata Callow.
Kebijakan Google soal bentuk iklan ini memang berbeda sekali dengan Yahoo! yang mengizinkan iklan banner muncul, misalnya, di aplikasi mail mereka. Tapi mana yang berhasil di Indonesia? Sulit dilacak karena, baik Yahoo! maupun Google, tidak bersedia mengungkap berapa pemasukan dari pasar Indonesia yang sedang tumbuh ini.
(Nurkhoiri)