TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bambang Brodjonegoro mengakui peringkat indeks kompetisi global Indonesia di bidang inovasi melorot dari ranking 45 menjadi 50 sepanjang 2019. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh unsur kapabilitas dalam pengembangan inovasi.
"Pada unsur yang dinamakan inovation capability, Indonesia menduduki peringkat ke-74 dari 141 negara. Ini yang membuat global competitiveness index kita turun," ujar Bambang di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Pusat, Senin, 24 Februari 2020.
Bambang menjelaskan negara tengah menghadapi pelbagai kendala dalam upaya meningkatkan peringkat indeks kompetisi inovasi dalam skala global. Pertama, kualitas sumber daya manusia atau SDM Indonesia dinilai belum memenuhi standar ketimbang negara maju.
Dari sisi kualitas, Indonesia masih membutuhkan banyak peneliti yang berkualifiasi S-3. Di sisi lain, rasio jumlah peneliti dan jumlah penduduk belum seimbang. Kedua hal ini menyebabkan produktivitas penelitian belum maksimal.
Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah, kata Bambang, harus berfokus memprioritaskan peningkatan kualitas SDM dalam lima tahun mendatang. Tak hanya itu, ia menyarankan lembaga penelitian tak berkelindan di balik birokrasi agar tak hanya beriorientasi pada penyerapan anggaran.
"Riset dan birokrasi itu tidak bisa kawin, karena dua hal ini punya prinsip yang berbeda. Ke depan, upaya kita adalah debirokrasi dari penelitian," tuturnya.
Kendala lain ialah ihwal fokus riset. Bambang menyatakan peneliti di Indonesia saat ini tidak memiliki prioritas penelitian yang jelas. Dia menilai, lembaga-lembaga terkait semestinya mampu meruncingkan fokus penelitian agar hasil yang diperoleh maksimal.
Masalah selanjutnya ialah anggaran. Bambang menjelaskan, saat ini sumber dana riset di Indonesia hanya berasal dari gross expenditure on R&D atau GERD. "GERD kita cuma 0,25 persen dari GDP (gross domestic product," ucapnya.
Angka ini jauh lebih kecil dari negara lain seperti Korea Selatan dengan GERD mencapai lebih dari 4 persen. Adapun dana riset di Tanah Air pun sekitar 80 persen dari APBN dan hanya 20 persen yang tercatat berasal dari swasta.
Struktur pembiayaan ini ditengarai membuat kegiatan penelitian di Indonesia tak kunjung maju. Hal itu berbeda dengan Korea Selatan, Thailand, dan Jepang yang pendanaan risetnya dibiayai oleh swasta.
"Di tiga negara itu, 70-80 persen pendanaan berasal dari swasta," tutur Menristek. Swasta yang mengambil porsi lebih banyak di bidang riset dinilai membuat hasil penelitian lebih terarah. Sebab, swasta lebih tahu hal-hal yang dibutuhkan pasar.