TEMPO.CO, JAKARTA - Peluang proyek infrastruktur baru hingga empat tahun ke depan bak pedang bermata dua untuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) bidang konstruksi yang tengah menanggung beban utang. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan perusahaan karya harus lebih jeli memilih proyek agar risiko keuangan tak bertambah.
"Cari proyek yang pengembalian investasinya bagus, dan harus berani menolak yang potensi bisnisnya jelek," ujarnya seperti yang dikutip Koran Tempo edisi Senin 24 Februari 2020.
Menurut dia, BUMN konstruksi ternama seperti PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT Wijaya Karya (persero) Tbk, PT Adhi Karya (persero) Tbk, dan beberapa entitas lainnya sulit menjaga kesehatan kas karena kerap ditugasi pengerjaan berbagai proyek strategis nasional (PSN). Sebagian besarnya pun berskema turnkey atau dibayar ketika rampung, sehingga kontraktor harus mencari pinjaman untuk kebutuhan konstruksi.
Contoh penugasan berat BUMN yang diungkapkan Abra adalah penyelesaian ruas-ruas Tol Trans Jawa yang sudah terhubung hingga 1.167 kilometer di periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ada pula pengerjaan sejumlah proyek kereta nasional, seperti light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT).
"Kadang return investment tak sesuai target saat tahap operasi, misalnya LRT Palembang," kata dia. Pada sembilan bulan pertama pemakaiannya, okupansi penumpang LRT Palembang hanya berkisar 3.000-8.000 orang per hari jauh dari target awal 30.000 orang per hari.
Efek beban proyek, dia melanjutkan terlihat pada rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) beberapa BUMN konstruksi yang berada di batas rawan, di level 2-3 kali. Tumpukan utang pun terlihat pada laporan keuangan kuartal ketiga 2019 sejumlah perseroan, seperti liabilitas Waskita Karya yang mencapai Rp 108 triliun, serta liabilitas Wijaya Karya sebesar Rp 42,7 triliun. "Kalau tak diantisipasi, BUMN bakal kesulitan dapat pembiayaan baru karena kreditur semakin ragu."