TEMPO.CO, Jakarta - Hasil survei Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang alias Jetro menunjukkan bahwa risiko tertinggi dalam iklim investasi di Indonesia menurut perusahaan asal negeri Sakura adalah lonjakan biaya tenaga kerja. "Angkanya mencapai 76,9 persen, naik dari tahun sebelumnya," ujar Direktur Senior Jetro Jakarta Yamashiro Takenobu di kantornya, Jakarta, Selasa, 11 Februari 2020.
Berdasarkan sigi itu, angka ini adalah yang tertinggi di antara negara-negara di Asean, Asia Barat, dan Oseania. Risiko lainnya menurut para pengusaha Jepang adalah sistem perpajakan dan persoalan pajak yang rumit di Tanah Air, manajemen kebijakan pemerintah daerah yang tidak pasti, hingga infrastruktur yang belum berkembang.
Dalam survei yang digelar pada tahun 2019 itu Indonesia memang menempati tempat paling atas sebagai negara dengan risiko lonjakan biaya tenaga kerja tertinggi. Posisi Indonesia itu diikuti oleh Australia dengan 76,4 persen dan Singapura 73,6 persen.
Secara umum dari 20 negara yang disurvei Jetro, lonjakan biaya tenaga kerja memang merupakan risiko terbanyak yang dihadapi perusahaan Jepang di seluruh negara responden dengan angka mencapai 61 persen. Selain soal upah, risiko lainnya adalah manajemen kebijakan pemerintah daerah yang tidak pasti 35m4 persen dan infrastruktur yang belum berkembang 34,6 persen.
Adanya lonjakan biaya pekerja yang tinggi di Tanah Air ternyata dinilai tak selaras dengan produktivitasnya oleh para pengusaha Jepang. Survei menunjukkan sebagian besar perusahaan asal negeri Sakura menilai bahwa produktivitas pekerja di Indonesia tidak selaras dengan upah minimum regional.
"Lebih dari 50 persen merasa upah dan produktivitas di Indonesia tidak sesuai, kenaikan upah dinilai sangat tinggi," ujar Direktur Senior Jetro Jakarta Wataru Ueno.
Sigi menunjukkan bahwa hanya 23,7 persen perusahaan yang menilai upah minimum regional di Tanah Air sesuai dengan produktivitas pekerja di Indonesia, adapun 55,8 persen menilai tidak sesuai, dan 20,4 persen tidak tahu.
Tingkat kepuasan perusahaan Jepang itu masih di bawah rata-rata Asean. Secara umum di Asean, 42,2 persen perusahaan merasa upah dan produktifitas di regional sudah tepat. Adapun 30,6 persen merasa kurang sesuai dan 27,2 persen tidak berpendapat.
Apabila nilai produktivitas di Jepang adalah seratus, Wataru mengatakan survei menilai produktivitas di Indonesia hanya 74,4 atau berada pada urutan ketiga terendah di kawasan Asean. Sedangkan, negara-negara pesaing Indonesia seperti Thailand dan Vietnam masing-masing mengantongi nilai 80,1 dan 80.
Di samping adanya nilai negatif dari lonjakan biaya tenaga kerja, Indonesia tetap memiliki nilai positif yang membuat para pengusaha jepang tertarik untuk berinvestasi di Tanah Air, salah satunya adalah skala pasar potensial atau potensi pertumbuhan pasar. Faktor tersebut dipilih oleh 81,4 persen responden. Potensi Indonesia itu menempati posisi tertinggi kedua setelah India yang meraup 90,7 persen, di antara negara Asean, Asia Barat, dan Oseania.
Survei Jetro dilakukan dengan metode kuesioner pada periode 26 Agustus - 24 September 2019. Adapun responden survei meliputi seluruh perusahaan dan kantor cabang serta perwakilan perusahaan kepang dengan rasio minimal investasi langsung maupun tidak langsung dari Jepang sebesar 10 persen yang beroperasi di 20 negara.
Jumlah jawaban valid yang diperoleh dalam pengambilan survei Jetro ini adalah 5.697 jawaban dari total 13.458 perusahaan responden. Adapun untuk Indonesia ada 614 jawaban valid dari total 1.726 perusahaan responden.