TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sudah menduga rencana pemerintah membuat Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja dalam bentuk Omnibus Law akan diwarnai unjuk rasa. Ia pun mempersilakan pandangan itu disalurkan saja.
"Kalau ada masalah mari beri masukan, sehingga saya katakan yang demo itu sebenarnya karena salah persepsi, salah paham," ujar Mahfud di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2020.
Mahfud mengatakan masyarakat kerap menyalahartikan rencana terbitnya beleid besar itu. Misalnya saja, muncul anggapan bahwa Omnibus Law muncul untuk mempermudah pemerintah kongkalikong dengan asing, sehingga modal asing mudah masuk dan berujung rakyat dirugikan.
"Enggak ada itu, enggak benar, ini kan berlaku juga untuk modal asing dan dalam negeri, ini terkadang salah, bahkan disebut mempermudah Cina masuk, bukan, enggak ada urusannya," tutur dia.
Di samping itu, Mahfud juga meluruskan anggapan bahwa Omnibus Law yang bakal terbit adalah beleid soal investasi. Menurut dia, anggapan itu kurang tepat lantaran investasi hanya bagian kecil dari beleid tersebut.
"Ini adalah Rancangan Undang-undang tentang Cipta Lapangan Kerja dengan mempermudah prosedur berinvestasi," kata dia. "Siapa yang investasi, ya siapa saja, Cina, Jepang, Eropa, Qatar, atau siapa."
Sebelumnya, ribuan buruh yang yang berasal dari berbagai organisasi demo di DPR untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan, buruh khawatir, Omnibus Law akan merugikan kaum buruh.
"Jika pemerintah serius ingin menghilangkan hambatan investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, jangan keliru menjadikan masalah upah, pesangon, dan hubungan kerja menjadi hambatan investasi," kata Said Iqbal di depan gerbang Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Senin 20 Januari 2020.
Ia mengatakan, ada enam alasan mengapa buruh menolak keberadaan Omnibus Law. Pertama, menghilangkan upah minimum, kedua menghilangkan pesangon, ketiga membebaskan buruh kontrak dan outsourcing. Adapun keempat, Omnibus Law akan mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Kelima, menghilangkan jaminan sosial, dan terakhir menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Said mengatakan, sebagai buruh, pihaknya setuju saja dengan prinsip pemerintah guna meningkatkan investasi. Namun, jika investasi justru menurunkan kesejahteraan dan mengorbankan masa depan buruh, tentu pemerintah harus membatalkan regulasi ini.
Dia meminta pemerintah lebih jeli lagi melihat masalah investasi. Menurutnya, yang menjadi hambatan investor masuk ke Indonesia ialah masalah korupsi dan tidak efesiennya birokrasi. "Jadi jangan menyasar masalah ketenagakerjaan," ungkap Said Iqbal.
CAESAR AKBAR | EKO WAHYUDI