TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Raden Bagus Agus Widjayanto mengungkapkan, selama lima tahun pihaknya menerima terkait sengketa tanah sebanyak 9.000 aduan.
"Kita setahun dapet pengaduan ada sekitar 3.000an, saya baru mendata dari masalah pertanahan dari 2015 sampai 2019 ada sekitar 9.000," kata dia di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa, 21 Januari 2020.
Agus menjelaskan, dari total kasus aduan tersebut, 50 persennya adalah terkait tumpang tindih tanah, yang diklaim oleh banyak orang dengan bukti kepemilikan yang berbeda. Seperti Girik, Akta Jual Beli, atau eigendom gementee yang dikeluarkan pada masa kolonial Belanda.
Ia mengatakan, dari 50 persen kasus itu juga terdiri dari kasus mafia tanah. Karena mafia tanah bisa memalsukan dokumen kepemilikan tanah dan memperkarakan di pengadilan guna merebut suatu lahan dari orang lain.
"Mafia tanah itu bisa ada di luar atau di dalem, karena memang mafianya sedikit tapi temennya yang banyak," ungkapnya.
Agus menuturkan, selama tahun 2019 pihaknya baru menyelesaikan sekitar 60 kasus terkait mafia tanah. Paling banyak modusnya adalah jual-beli properti yang dilakukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bodong.
"Kalau kemarin saja PPAT palsu itu ada kerugian Rp 40 miliar lebih. Kita belum total jumlahkan berapa nilai total loss-nya kalau dari 60 kasus itu," ungkap Agus.
Dalam mempercepat penyelesaian kasus mafia tanah, Agus menuturkan, telah melakukan kerja sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung agar mempermudah koordinasi dalam menindak para pelanggar hukum.
Kemudian selama tahun 2019, Agus mengungkapkan, pihaknya telah menangani 1500 sengketa pertanahan. Namun ia mengaku, tidak bisa menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut dalam waktu singkat, sehingga pihaknya membuat daftar prioritas yang mereka sebut K1 penanganan kasus agar cepat rampung.
"Kalau ada dua hak yang satu sah yang satu tidak, dan yang tidak sah kita batalkan, atau belum mendaftar jadi kemudian jadi daftarkan atau kita bisa lakukan mediasi," ucapnya.
Agus mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melakukan untuk mengikuti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) agar semua tanah tersertifikasi dan mengurangi konflik agraria.