TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha di sektor hulu minyak dan gas (migas) mendukung rencana pemerintah untuk menambah pilihan skema kontrak selain bagi hasil kotor atau gross split dengan menerapkan kembali bagi hasil penggantian biaya operasi atau cost recovery. Kebijakan ini diharapkan dapat menambah intensitas kegiatan di sektor tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan tambahan pilihan kontrak bagi hasil akan membantu pengusaha memilih tempat yang lebih menarik untuk menanamkan modal. Pasalnya setiap lapangan memiliki karakteristik hingga risiko yang berbeda.
"Suatu kontrak bisa lebih menarik dari kontrak lainnya tergantung dari profile capital dan produksinya, karena itu memberikan opsi pada kontrak adalah cara yang baik," kata dia, Senin 13 Januari 2020.
General Manager Conrad Petroleum Radian Hartama menyatakan baik opsi cost recovery maupun gross split memiliki keuntungan tersendiri. Saat ini perusahaan memiliki wilayah kerja yang menggunakan kedua skema tersebut.
"Dan kenyataannya kami tetap menyelesaikan pekerjaan terkait dengan semua komitmen kerja yang telah disepakati bersama pemerintah Indonesia," katanya. Namun dia menyatakan adanya keleluasaan untuk memilih skema kontrak kerja akan mempermudah pihaknya, termasuk pemerintah, untuk memaksimalkan potensi wilayah kerja.
PT Pertamina menyatakan siap menyesuaikan kembali dengan kebijakan pemerintah jika nantinya cost recovery kembali diterapkan.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menuturkan perusahaan pelat merah itu mendukung upaya pemerintah untuk mendorong kembali sektor hulu migas. "Pertamina siap menyesuaikan dan fokus pada upaya strategis dan teknis untuk dapat meningkatkan produksi nasional," kata dia.
Sejak dua tahun lalu, pemerintah memutuskan mengubah skema cost recovery menjadi gross split atau bagi hasil kotor. Skema baru ini dianggap lebih efektif lantaran jatah pemerintah dan pengusaha ditentukan di awal kontrak. Pengusaha harus menentukan sendiri biaya operasional sehingga proyek lebih efisien dan pemerintah tak lagi perlu menanggung pembengkakan biaya. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi cost recovery selalu melebihi anggaran sejak 2013.
Namun penerapan skema gross split tak sepenuhnya efektif. Pemerintah sempat menerbitkan aturan tambahan untuk melengkapinya seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas untuk melengkapi kebijakan tersebut.
Sejumlah penawaran wilayah kerja pun sepit peminat. Dalam lelang wilayah kerja tahap III 2019, pemerintah mewarkan empat wilayah kerja dengan minimum bonus tandatangan senilai US$ 2,5 juta untuk masing-masing wilayah kerja. Pemerintah menyatakan empat perusahaan mengakses dokumen lelang periode tersebut. Namun hingga batas waktu penyerahan dokumen lelang, tak ada tindak lanjut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan tengah mengkaji penerapan opsi cost recovery untuk mendorong investasi. "Tapi kami lagi benahi dulu cost recovery, benerin yang kurang pas," ujarnya.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi Djoko Siswanto menyatakan kajian itu kini sedang dikerjakan pihaknya bersama Badan Geologi dan SKK Migas. Dia berharap setelah kajian rampung, penawaran wilayah kerja akan kembali diminati. "Rencananya akan dilelang di kuartal I 2020," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO | VINDRY FLORENTIN