Sejumlah tokoh sebelumnya berbeda pandangan soal klaim Cina atas Natuna. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan perkara kehadiran kapal penjaga pantai Cina di Perairan Utara Natuna tak perlu dibesar-besarkan. Sebab, Indonesia memiliki kekurangan dalam penjagaan di zona ekonomi eksklusif.
"Sebenarnya kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE," ujar Luhut di Kantor Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Jakarta, Jumat, 3 Januari 2019.
Ia mengatakan, salah satu perbaikan yang mesti dilakukan untuk memperkuat Bakamla ke depannya adalah dengan menambah kapal dan peralatannya. Karena itu, ia menyebut Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan adanya pembangunan lebih banyak kapal Bakamla untuk melakukan patroli. "Kalau kita tidak hadir kan orang hadir di tempat kita," tutur Luhut.
Berbeda dengan Luhut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menanggapi santai persoalan ini. "Kita cool saja. Kita santai kok, ya," ujar dia. Menurut Prabowo, bagaimana pun, Cina adalah negara sahabat.
Melalui akun Twitter,nya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berpandangan keras. Ia mengatakan tidak ada istilah traditional fishing zone. "Straight forward statement segera nyatakan, Traditional Fishing Zone itu TIDAK ADA," tulis Susi melalui akun twitter @susipudjiastuti. Sehingga, alasan Cina bahwa yang berada di Natuna adalah nelayan tradisional tidak dapat diterima.
Susi Pudjiastuti juga melanjutkan, Indonesia tak punya perjanjian fishing rights dengan Cina. Perjanjian fishing rights adalah yang mengatur hak-hak nelayan tradisional untuk menangkap ikan yang sudah dilakukan secara tradisional dan turun temurun di Indonesia.
Hubungan Cina-Indonesia sebelumnya memanas setelah adanya klaim batas perairan Natuna Utara dari Negeri Tirai Bambu. Klaim Cina itu mengacu pada Nine Dash-Line atau sembilan garis batas imajiner yang secara tegas ditolak oleh Indonesia.
Menteri Luar Negeri Retno Sumardi mengatakan klaim itu tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS). "Kami tidak mengakui Nine Dash-Line karena itu line klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok (Cina), yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujarnya, Jumat, 3 Januari lalu.
Nine Dash-Line adalah penetapan Cina atas kedaulatan suatu wilayah, baik di darat maupun perairan. Berpatokan pada peta itu, Cina mengklaim bahwa Laut Natuna Utara adalah wilayahnya.
Klaim itu mendorong Cina melakukan pelanggaran atas Zona Ekonomi Ekslusuf Indonesia. Teranyar terjadi pada Desember 2019. Badan Keamanan Laut kala itu menemukan kapal penjaga pantai (coast guard) pemerintah Cina muncul di perbatasan perairan Natuna Utara pada tanpa izin alias ilegal.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR