TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Komisaris Utama PT Dok Kodja Bahari (Persero) Desi Albert Mamahit mengaku telah menyurati Menteri Badan Usaha Milik Negara pada era Kabinet Kerja, Rini Soemarno, mengenai kondisi pelik yang dialami perusahaan galangan kapal tersebut sebelum keduanya lengser dari posisinya. Mamahit berhenti dari jabatannya sekitar September 2019, adapun Rini digantikan Erick Thohir pada Oktober 2019.
"Kewajiban saya sebagai komisaris adalah untuk mengingatkan. Kalau tidak, saya dianggap enggak kerja. Kan saya selalu mengingatkan. Dalam rapat kerja juga selalu mengingatkan apa yang harus dikerjakan," ujar Mamahit kala berbincang dengan Tempo pada Rabu malam, 11 Desember 2019.
Mamahit mengatakan rutin bersurat dengan Kementerian BUMN untuk mengabari kondisi perusahaan. Ia pun meyakini Menteri Rini kala itu sudah memahami kondisi perusahaannya. Namun, hingga kini memang belum ada langkah lebih lanjut terkait laporannya itu. "Surat yang terakhir kayaknya belum ada reaksi sampai saat ini."
Berdasarkan surat tertanggal 20 Agustus 2019 itu, Mamahit melaporkan kondisi perusahaan yang dinilai memprihatinkan dan kondisi keuangannnya sangat berat. Kata dia dalam surat itu, sejak tahun 2018 kondisi perusahaan terus mengalami penurunan.
Bahkan, ia melaporkan sampai dengan April 2019 bottom line keuangan tercatat negatif Rp 2,06 miliar dan pendapatan hanya tercapai 13,05 persen. Angka itu menurutnya sangat jauh dari rencana RKAP 2019. "Kondisi ini tidak berubah sampai Juli 2019," tulisnya. Kondisi tersebut, kata Mamahit, lantas mempengaruhi kinerja perusahaan dalam melaksanakan kewajiban.
Dalam surat itu, Mamahit menyampaikan bahwa direksi tidak bisa memberdayakan kemampuan dan aset perusahaan sevara optimal. Padahal, ia menilai dua hal tersebut berpotensi meningkatkan kinerja perusahaan dan mendatangkan keuntungan dari bisnis galangan.
Sebelumnya, Mamahit mengatakan, sebelum ia berhenti dari posisinya pada September lalu, kondisi keuangan perusahaan memang kurang sehat. "Singkat kata, keadaannya parah dan minus," ujar dia.
Menurut dia, pemasukan perusahaan cenderung sedikit dibanding seharusnya. Imbasnya, perusahaan kesulitan membayar gaji pegawainya. Pembayaran upah itu kerap dicicil, misalnya 25-50 persen saja.
Terkadang, gaji satu bulan itu belum lunas hingga akhirnya masuk ke periode bulan berikutnya. Hal tersebut terjadi, kata Mamahit, lantaran perusahaan tidak punya uang. Ketiadaan duit itu adalah buntut dari pekerjaan yang tidka kunjung selesai.
"Jadi dalam sebulan kerap hanya segitu yang diterima karyawan," tuturnya. "Coba bayangkan dengan aset yang begitu bagus, tapi kemampuan membayar gaji terbatas."
Ia mengatakan untuk memenuhi kebutuhan operasional dan gaji karyawan setiap bulannya, perseroan perlu menggelontorkan duit sekitar Rp 8 miliar. Sementara, penerimaan tak sampai Rp 1 miliar. Persoalan pembayaran gaji tersebut, dinilai Mamahit, membuat etos kerja karyawan turun drastis.
Kondisi tersebut, menurut Mamahit, mendorong perusahaan mengakali kondisi keuangan perusahaan demi bisa membayar gaji karyawan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan bunga perbankan dari duit Penyertaan Modal Negara alias PMN.
Belum lagi, kondisi tersebut diperparah dengan tenggelamnya beberapa floating docks dalam beberapa waktu ke belakang. Sehingga, pendapatan pun berkurang signifikan. Sementara, Dana PMN total Rp 900 miliar yang diterima DKB untuk pengadaan sarana galangan dan floating dock terindikasi bermasalah sampai saat ini. "PMN itu kalau saya bilang tidak dimanfaatkan dengan benar," tuturnya.
Berdasarkan laporan keuangan di laman resmi DKB, pendapatan perusahaan pada periode 2010-2014 cenderung fluktuatif. Pada 2014, pendapatan tercatat sebesar Rp 558,14 miliar. Sementara, rugi bersih perusahaan mencapai Rp 175,9 miliar. Kala itu, total aset adalah Rp 1.327,27 miliar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti tujuh Badan Usaha Milik Negara yang telah menerima Penyertaan Modal Negara namun kinerja keuangannya tetap merugi pada 2018.
"Kerugian terjadi pada tujuh BUMN, yaitu PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PTKrakatau Steel," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019. Kala itu, ia mengatakan PT Dok Kodja Bahari mengalami rugi akibat beban administrasi dan umum yang terlalu tinggi, yaitu 58 persen dari pendapatan.
CAESAR AKBAR