TEMPO.CO, Madrid - Pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah. Menurut Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Medrilzam, langkah ini merupakan yang pertama. Namun, ia juga mengakui, pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam mengintegrasikan isu lingkungan ini untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon.
“Dulu, isu lingkungan hanya dibahas sambil lalu. Kini, kami telah memasukkannya dalam dokumen perencanaan pembangunan,” kata Medrilzam dalam sesi Mainstreaming Low Carbon Development Initiative into Policy Planning: Country Expreriences di Paviliun Indonesia, arena konferensi perubahan iklim COP25 di Madrid, Spanyol, Rabu pagi waktu setempat.
Medrilzam menyebut, rencana jangka pembangunan yang memasukkan isu lingkungan itu sebagai “Green Medium Term Development Plan”. Pada Oktober 2017, pemerintah mendeklarasikan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon atau LCDI, untuk menyelaraskan target pengurangan emisi ke dalam dokumen perencanaan. Di situ disebutkan, LCDI merupakan proses identifikasi kebijakan pembangunan guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, mempercepat pencapaian tujuan pembangunan sektoral, sekaligus mencegah perubahan lingkungan.
Meg Argyriou, Kepala Program Internasional ClimateWorks Australia, menyebut kebijakan politik Indonesia itu sangat baik. Ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh pemerintah. Di antaranya, memperbaiki kebijakan fiskal melalui pengurangan subsidi, peningkatan elektrifikasi, difersifikasi produk-produk berkarbon rendah, serta penambahan akses ke investasi global. Dari sisi bisnis, inisiatif pembangunan berkarbon rendah akan memperluas pasar ekspor, pengurangan risiko, serta peningkatan produktivitas. Dari sisi sosial, langkah ini akan membuka lapangan kerja baru, peningkatan upah karena peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta membaiknya kualitas udara.
Argyriou kemudian memaparkan sejumlah data tentang industri ramah lingkungan di Indonesia. Ia menyebut, pemanfaatan angin untuk energi masih rendah. “Ini cukup mengagetkan bahwa belum banyak investasi untuk pemanfaatan angin di Indonesia,” kata dia.
Masuknya target pengurangan emisi karbon ke dalam rencana pembangunan ini dianggap baik oleh sejumlah negara. Pemerintah Kolumbia menyataka,n belum melakukan hal yang sama.
Namun, Medrilzam mengakui pemerintah menghadapi sejumlah tantangan untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon tersebut. Hambatan pertama, menerapkan rencana-rencana itu ke dalam tahap eksekusi. Ia menyebutkan, Indonesia mencanangkan target ambisius dalam pengurangan efek gas rumah kaca. Menurut dia, perlu tahapan-tahapan yang jelas agar semua sektor bisa mencapai target. Hambatan kedua, memonitor semua program agar bisa berjalan. Sebab, kata dia, pembangunan pada satu sektor bisa berkaitan dengan sektor-sektor lain. “Perlu kolaborasi yang baik di antara kementerian,” ujarnya.
Hambatan berikutnya adalah melibatkan swasta, yang disebut Medrilzam merupakan prioritas tertinggi. Sejauh ini, belum banyak investasi yang berkaitan dengan proyek pembangunan rendah karbon. Padahal, anggaran negara untuk hal ini juga tidak besar. Hambatan kelima adalah jangkauan pembangunan ramah lingkungan yang belum menyentuh ke semua pihak. Tidak hanya pada pemerintah pusat, kata dia, melainkan juga di pemerintah-pemerintah daerah. “Meski berat, kami yakin bisa menghadapi hambatan-hambatan itu,” ia menambahkan.
BS